36. Coffee and Tea

701 75 4
                                    

The best kind of relationships begin unexpectedly. When you get that astonished feeling and everything happen so suddenly. That's why you don't look for love. It comes to you just at the right time, the timen you never thought it would have.

~P~

Acara api unggun sudah usai sejak satu jam yang lalu, kini hanya tersisa abu dan arang dari kayu-kayu yang tadi terbakar. Semua orangpun telah masuk ke villa masing-masing, bersiap untuk tidur mengingat sekarang sudah hampir tengah malam, meski begitu masih ada beberapa orang terutama kaum berjakun yang masih betah merokok dan ngopi di gazebo yang ada di sudut halaman.

Lalu bagaimana dengan gue? Sekarang gue sudah berpindah tempat, duduk di teras menghadap halaman belakang villa ini, ditemani buku berjudul The Remains of the Day karya Kazuo Ishiguro. Gue membeli buku ini sudah dari beberapa minggu yang lalu, tapi baru belakangan ini sempat gue baca.

"Baca apaan Ra?" Allen tiba-tiba muncul, duduk di sebelah gue dan menyodorkan segelas teh panas.

"Makasih. Tapi bapak nggak perlu buatin saya minum begini." Kata gue merasa tidak enak dengan perlakukan Allen, meski tetap menerima teh buatannya.

"Gue bikin buat diri gue sendiri kok, terus nggak sengaja lihat lo di sini, yaudah sekalian." Ujarnya setelah menyeruput kopinya. Yaps, Allen adalah coffeeholic dan gue adalah teaholic. Sama-sama caffeine sebenarnya, beda kadar-nya doang.

"Kok lo nggak tidur?" Mengikuti alur bicara Allen, gue sudah mengubah cara bicara dengan lebih santai dan informal. Hal ini sudah biasa untuk kami, memisahkan urusan personal dan pekerjaan sampai ke cara bicara. Jadi hal normal jika kami bisa tiba-tiba men-switch obrolan dari formal ke informal dan sebaliknya.

"Nggak salah lo nanya gitu. Lo sendiri kenapa belum tidur?" Allen balik bertanya dengan sebelah alisnya terangkat dan senyum miring khasnya.

"Nanggung mau nyelesain baca ini, tinggal dikit." Gue menunjukkan buku yang gue pegang. "Tapi berhubung lo disini kayaknya nggak bakal selesai gue bacanya." Lanjut gue sambil menutup buku yang tadinya gue baca.

"Abaikan gue, lanjut aja. Gue nggak akan ganggu kok." Allen membenarkan posisi duduknya dan kembali menyeruput kopinya, bertingakh seolah dia tak terlihat.

"Gimana nggak ganggu kalo ekspresi lo aja kayak mau ngomong sesuatu ke gue, yang ada gue penasaran." Gue sudah meletakkan buku gue di meja, kemudian ikut menyeruput teh.

Hmm... enak juga teh buatan Allen, pas, nggak terlalu manis dan nggak hambar juga. Sesuai sama selera gue.

"Kelihatan banget ya emang?" Tanyanya yang kini sudah mengubah duduknya menghadap gue.

"Tercetak jelas di jidat lo bapak Gallendra." Jawab gue menunjuk jidat Allen. Kemudian kembali serius dan mempersiapkan telinga untuk mendengarkan Allen. "Jadi mau ngomong apa?"

"Lo les musik sejak kecil? Ini kedua kalinya gue lihat lo main alat musik dan itu dua alat musik yang berbeda."

"Gue udah pernah cerita kan. gue les piano sejak kecil, mungkin umur enam tahun. Untuk gitar, abang gue yang ngajarin dan setelah abang gue ke London, Didit yang lanjut ngajarin gue." Dengan lancar dan berusaha sabar gue menjawab pertanyaan Allen. "Come on Len, bukan ini yang mau lo tanyain kan?" Ahirnya gue memutar mata, gue tau ini hanya pertayaan basa basi mengingat Allen pernah nenanyakan hal ini sebelumnya, lebih tepatnya saat kami melakukan perdin ke Surabaya beberapa bulan lalu.

"Apa lo nggak mau melarang gue untuk menikahi Kyra?" Pertanyaan yang lolos dari mulut Allen di detik selanjutnya, seketika membuat gue membisu, jantung gue mulai berdebar berlebihan.

Caffeine (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang