26. Another Coincidence

786 67 3
                                    

Sabtu pagi yang cerah weekend ini kembali gue habiskan dengan sahabat tersayang gue, siapa lagi kalau bukan Velis dan Didit. For your information, Didit hanya akan berada di Jakarta selama 2 minggu, dan weekend ini adalah weekend kedua sekaligus terakhir sebelum pria pecinta photography itu kembali ke negara perantauannya, Australia.

Sekarang kami sedang berada disalah satu supermarket ternama di kawasan Senopati, membeli berbagai macam bahan masakan berdasarkan check list yang bunda berikan. Hari ini gue dan Velis memang berencana untuk memasak makanan cita rasa pulau Sumatera, lebih tepatnya memasak gulai ikan dan rendang daging sapi.

Berhubung anak muda macam gue dan Velis pengetahuan akan bumbu-bumbuan dan bahan masakan sangat minim, jadi kami membutuhkan bantuan kaum ibu-ibu yang lebih professional dalam masalah masak-memasak, yang kali ini sasaran kami adalah Bunda Farida, ibu kandung gue.

Didit yang saat ini mengekor dibelakang gue dan Velis masih betah menunjukkan tampang kusutnya. Pria yang mengenakan celana jeans dan kaos putih polos itu sedang bertugas sebagai pembawa trolley belanjaan kami. Tadinya Didit bersikeras menolak untuk ikut ke supermarket dan memilih tetap berada di apartemen gue, tapi berkat paksaan gue dan Velis akhirnya disinilah Didit berada, dengan terpaksa mengikuti kemanapun gue dan Velis pergi.

"Kurang apalagi sih yang mau dibeli. Gue tinggal nih lama-lama lo berdua." Didit yang sejak tadi diam akhirnya kehabisan kesabaran dan mulai mengeluarkan protesannya.

"Dari pada lo ngomel mending bantuin nyari jintan deh." Sambil celingukan mencari kemungkinan keberadaan si jintan, gue menimpali omelan Didit dengan santai.

"Bentukannya kayak gimana aja gue kagak ngerti, gimana gue nyarinya. Tanya aja gih sama pegawainya, biar cepet ketemu." Didit kembali berucap lesu. Sepertinya dia sudah kehabisan tenaga karena sejak dua jam yang lalu mengikuti gue dan Velis memutari seisi supermarket ini.

"Yang sabar ya Dit. Anggap aja latihan, sebelum lo punya bini." Velis menepuk-nepuk pundak Didit dengan senyum dan tawa mengejeknya. Membuat wajah Didit yang kusut kini semakin suram.

"Fara."

Disaat Didit masih menumpahkan rengekannya, suara yang begitu gue kenali tiba-tiba terdengar memanggil nama gue, tepat ketika kaki gue baru saja akan berbelok ke arah rak berisi bumbu-bumbu dapur.

"Eh Allen." Tebakan gue benar. Begitu gue menoleh, sosok bertubuh tegap yang tampak mencolok dari orang-orang disekitarnya berkat tampangnya yang berada di atas standar itu sedang berjalan cepat menghampiri gue dengan seorang wanita yang mengekor dibelakangnya.

Wanita cantik berbadan ramping dengan tinggi semampai, mengenakan dress selutut berwarna pink, kini sudah berdiri di samping Allen dengan senyum manisnya yang berhasil membuat gue terdiam dengan raut penasaran. Selama ini Allen tidak pernah bercerita tentang wanita sama sekali. Lalu kini pria itu tiba-tiba berada di supermarket dengan wanita cantik bak model begini, jadi gimana gue nggak tercengang coba.

"Kenalin ini Velis dan Didit, sahabat gue. Dan Vel, Dit, ini Allen boss baru gue di kantor yang pernah gue ceritain." Gue mengenalkan ketiga manusia asing itu satu sama lain begitu menyadari tatapan bingung Velis dan Didit, serta Allen yang juga terlihat penasaran.

"Hai gue Kyra, sahabatnya Allen." Begitu Velis, Didit dan Allen selesai dengan sesi perkenalan mereka, wanita yang bersama Allen itu berinisiatif mengenalkan diri.

Kyra nama wanita itu, menyebutkan kata 'sahabat' dengan percaya diri, tapi entah kenapa yang gue lihat di mata Allen adalah hal yang berbeda. Allen memang tidak menyanggah perkenalan Kyra, tapi dari pengamatan gue, Allen seperti menganggap Kyra lebih dari sahabat. Bukan, gue bukan sok tau, tapi setiap gesture yang Allen tunjukkan memang mengarah kesana. Apalagi tatapan matanya yang tak lepas dari Kyra ketika wanita itu berkenalan dengan gue, Velis dan Didit.

Caffeine (Completed)Where stories live. Discover now