34. Recourse

693 85 1
                                    

"Mau pulang Ra?" Sapa Mbak Gina ketika gue menutup pintu ruangan gue. To tell you the truth, sekarang gue sudah resmi menjabat sebagai kepala devisi management perencanaan sejak dua minggu yang lalu.

Gue pun segera mengangguk menjawab pertanyaan mbak Gina. Kemudian beralih memperhatikan setiap kubikel di ruangan ini yang ternyata masih banyak yang belum ditinggalkan penghuninya padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima belas malam. "Eh banyak yang lembur?"

"Berkat perintah ibu kepala devisi yang meminta laporan progres setiap project harus siap besok pagi." Ucap mbak Lana, sengaja menyindir halus sambil membereskan meja kubikelnya.

"Maaf ya." Meskipun gue tau mbak Lana menyelipkan candaan dikalimatnya barusan, tapi tetap saja gue merasa tidak enak hati. "Gimana kalau kita pesan pizza, aku yang bayar. Pada belum makan kan."

"Serius mbak?" Gladis yang pertama menyahut dengan begitu antusias.

"Pesen cola juga boleh Ra?" Diikuti Haikal yang juga bertanya penuh semangat. Pria itu bahkan sudah bangkit dari duduknya dan menunjukan aplikasi delivery sebuah merk pizza ternama.

"Pesan apapun yang kalian mau." Jawaban gue itu langsung disambut oleh Haikal dan Gladis yang melakukan high five.

Membiarkan mereka memilih pesanan, gue meletakkan tas di salah satu kursi dalam satu set sofa di ruangan ini. Kemudian berjalan ke kubikel mas Doni, senior di devisi ini.

"Ada yang bisa aku bantu mas?" Gue sengaja menawarkan bantuan pada mas Doni, berusaha mengakrabkan diri sebenarnya. Diantara banyaknya orang di devisi ini, mas Doni adalah satu diantara dua orang yang tidak terima dengan pengangkatan gue sebagai kepala devisi. Karena dia adalah senior yang sudah 8 tahun lamanya bekerja di GSF, merasa tidak adil karena gue masihlah junior, kurang pengalaman, dan terlalu muda untuk menjadi kepala devisi.

"Nggak perlu. Gue udah kelar." Mas Doni menjawab dengan acuh sambil membereskan berkas-berkas di mejanya. Meskipun lagi-lagi respon penolakan yang gue terima, tapi itu tidak menyulutkan nyali gue untuk kembali bertanya.

"Langsung pulang mas, nggak nunggu pizzanya dulu?"

"Tidak ibu Prita Faradista Adikoesoemo." Mas Doni menyebutkan nama gue dengan lengkap dan penuh penekanan. Wajahnya bahkan seperti menahan geram.

Selain karena pengalaman kerja, hal lain yang disebutkan mbak Gina seminggu yang lalu mengenai alasan mas Doni tidak menyukai gue, adalah fakta bahwa gue bagian dari keluarga Adikoesoemo. Bapak-bapak berusia tiga puluh delapan tahun itu menganggap berkat nama gue lah yang akhirnya mambuat gue menduduki kursi sebagai kepala devisi. Sempit sekali bukan pemikirannya, tapi memang kadang ada saja orang yang pikirannya belum terbuka. Gue pun sebenarnya nggak tau dari mana dan sejak kapan dia tau nama keluarga gue.

"Apa saya juga boleh ikut pesan bu Fara?" Mas Bayu tiba-tiba muncul di balik pintu kaca ruangan devisi gue dengan cengiran lebarnya. Kakinya melangkah lebar menghampiri gue.

Thanks to mas Bayu, berkat kedatangannya dan guyonan recehnya mood gue tetap terjaga meski mendengar menolakan mas Doni yang agak nyelekit di hati.

"Belum pulang mas Bay?" Memilih tidak lagi memperdulikan mas Doni, gue kini memfokuskan diri pada mas Bayu.

"Mau pulang nih, tapi nengok devisi sebelah dulu. Eh malah denger jackpot, nggak jadi pulang deh gue." Katanya dengan sengaja menyenggol bahu gue.

"Pesennya di Haikal tuh mas." Gue balik menyenggol bahu mas Bayu, mengarahkannya pada Haikal yang sedang sibuk mengutak atik ponselnya dengan dikerumuni oleh anak-anak lain yang ikut melihat menu yang tersedia dan berdiskusi menu apa yang akan dipilih.

Caffeine (Completed)Where stories live. Discover now