42. Our Destiny

856 70 4
                                    

Dengan kecepatan 60 km/jam gue melajukan mobil CR-V SUV yang gue kemudi membelah jalanan ibu kota Jakarta, saat ini langit sudah mulai gelap mengingat sekarang sudah jam enam sore. Dari balik kaca depan mobil, gue dapat melihat tetesan air hujan yang mulai membasahi permukaan mobil berwana hitam yang telah menemani gue hampir dua tahun ini.

Tujuan gue sore ini adalah sebuah rumah sakit besar di jalan Fatmawati Jakarta Selatan, seseorang sedang terluka di sana dan gue datang untuk menjenguknya. Pagi tadi gue mendapatkan berita mengejutkan, sekali lagi, untuk yang kesekian kali, dari orang yang sama. Seharian ini rasanya begitu lama karena gue ingin segera melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi.

Lebih dari setengah jam kemudian mobil gue sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Gue mengambil payung dan bingkisan berisi buah-buahan dari kursi tengah sebelum akhirnya keluar dari mobil. Sesekali gue menyapa perawat dan dokter yang cukup gue kenal saat tidak sengaja berpapasan. Gue tidak asing dengan rumah sakit ini, mengingat eyang putri adalah salah satu professor yang bekerja di rumah sakit ini sejak belasan tahun lalu.

Setibanya gue di depan pintu bertuliskan Ny. Akyra Lituhayu Harim, gue mengambil napas dan menghembuskannya perlahan, sebelum tangan gue terangkat untuk mengetuk pintu. Entahlah gue juga tidak mengerti kenapa gue melakukan hal itu.

Begitu gue membuka pintu, penampakan Allen yang sedang berusaha menyuapkan sesendok bubur ke mulut Kyra menjadi pemandangan pertama.

"Fara." Sapa Kyra yang cukup terkejut dengan kedatangan gue, namun sedetik kemudian senyum dibibirnya telah terbit meski dengan wajah yang begitu pucat. Gue pun tersenyum tipis sebelum akhirnya menghampiri ranjang Kyra.

"Gue senang lihat lo baik-baik aja Ky." Gue meletakkan bingkisan yang gue bawa di atas nakas samping ranjang, kemudian berdiri di sisi kanan ranjang berseberangan dengan Allen yang berada di sisi kiri ranjang.

Tanpa menunggu lama, Kyra menarik gue dalam pelukannya. Membuat gue kini sudah terduduk di sisi kanan ranjang dengan Kyra yang memeluk gue erat, menumpahkan rasa sakit yang mungkin hanya bisa dipahami kaum wanita.

"Nggak pa pa Ky. Terimakasih sudah bertahan." Ucap gue mengelus punggung Kyra lembut. Isakan Kyra semakin keras terdengar. Benar-benar menyayat hati, tangisnya penuh dengan luka, penyesalan, dan rasa bersalah.

Berdasarkan yang gue tau dari Allen, Kyra telah kehilangan bayi dikandungannya. Bayi yang sudah berada dalam kandungannya selama tujuh bulan lamanya itu telah meninggal saat dibawah ke rumah sakit. Kyra mengalami kecelakaan dini hari tadi sepulang dari kantor. Lembur sampai dini hari adalah hal biasa bagi para pekerja di ibu kota seperti kami.

Jam dua pagi tadi Jakarta memang diguyur hujan deras, jalanan lebih licin dan jarak pandang menjadi lebih pendek dari biasanya. Mobil yang Kyra kemudi tiba-tiba disruduk truk angkutan berat hingga terseret ratusan meter. Kejadiannya begitu cepat hingga akhirnya Kyra dilarikan ke rumah sakit terdekat dan bayi dikandungannya tidak bisa diselamatkan.

Entah berapa lama Kyra menangis dipelukan gue, kerena sekarang gue bisa merasakan blouse yang gue kenakan telah basah oleh air mata Kyra. Allen hanya diam, memandang sendu kearah gue yang juga terdiam dengan tangan yang masih menepuk-nepuk punggung Kyra lembut.

"Gue memang nggak pantas jadi seorang ibu ya, Ra." Kyra melepas pelukannya ketika tangisannya mulai reda. Matanya memerah, wajahnya pucat, dan tubuhnya begitu lemah. Ya Tuhan harus semenderita apalagi Kyra sekarang.

"Lo ngomong apaan sih Ky." Maafkan gue kalau ucapan gue sedikit menyentak, tapi gue tidak suka dengan ucapan Kyra barusan. Meski setelahnya gue menyentuh punggung tangan Kyra, memberinya usapan lembut.

Allen mundur, dia kini duduk di sofa yang ada di ruangan ini, membuka Macbook miliknya dan entah mengetikkan apa di sana. Pria itu tidak berniat ikut campur dalam obrolan gue dan Kyra.

Caffeine (Completed)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant