19. Not an Ordinary Happy Ending

1K 87 2
                                    

"Heran deh gue Vel, sekarang mau ketemu lo aja susahnya kek mau ketemu presiden. Kebanyakan ngacara lo." Gue langsung melemparkan kalimat pedas begitu Velis mendudukan dirinya di kursi empuk tempat meet up gue dan Velis hari ini.

"Ya mon maap mbaknya ya, punya kaca nggak di rumah. Lo itu juga sama aja kucrut, pas banyak kerjaan juga susah banget diajak ketemuan."

"Lagian lo ya, gue baru juga sampe, baru juga duduk udah main ngedamprat aja, lambe lo nggak bisa direm dulu apa."

Velis menimpali dengan celotehan panjang, nggak mau kalah, sambil tangannya sibuk membolak balikkan kertas menu di depannya. Tau sih gue, sohib gue ini pasti belum makan dari pagi, makanya dijidatnya sudah tertulis 'singa kelaparan' dengan jelas.

"Lo udah gue pesenin. Spaghetti carbonara 2 porsi khusus buat lho. Ditambah jus mangga. Kurang baik apa coba gue sebagai temen lo"

"Kurang baik buangeett. Gue kelaperan kurang gizi gini lo kasih makan mie Ra? Tega lo."

"Mie pale lu, pasta bukan mie."

"Lo orang mana woy, orang Indonesia mah kenalnya mie."

"Udah ah capek gue debat sama lo, tinggal makan aja susah banget. Kalo lo masih laper ntar gue traktir nasi penyetan lamongan deket kantor gue."

"Nahh gitu dong, makin sayang deh gue sama lo."

"Giliran soal makanan aja sayang." Gerutu gue yang hanya dibalas cingiran kuda oleh Velis.

Begitu perdebatan tidak penting kami usai, pesanan gue akhirnya datang. Tanpa ba-bi-bu Velis langsung mengambil alih spaghetti yang gue pesankan tadi. Kelihatan banget sih nih bocah persis seperti kucing kelaparan, nggak dikasih makan majikannya seminggu.

"Lo nggak makan Ra? Atau udah makan?" Tanya Velis setelah menghabiskan sepiring spaghetti dengan rakusnya. See, gimana nggak punya malunya temen gue ini, jelas di restoran ini yang makan nggak cuman kita, tapi gaya makannya udah kayak di warteg, nggak malu dilihatin pengunjung yang lain.

"Enggak, lihat lo makan aja udah bikin gue kenyang." Jawab gue seadanya.

"Lo ada masalah apa sih?" Akhirnya pertanyaan itu muncul dari bibir sahabat kesayangan gue ini. Velis ini sekali melihat mata gue, dia akan langsung mengerti apakah gua baik-baik aja, atau gue sedang ada masalah. Dan radar persahabatan kami terbukti lagi kali ini. Velis yang sejak tadi kelaparan dan terus ngoceh nggak jelas akhirnya menatap mata gue dan menemukan sesuatu di sana.

"Lo nggak mau jawab? Apa biar gue tebak?" Tanyanya lagi ketika gue belum juga membuka suara.

"Ra, lo jangan diem aja dong. Gue jadi takut kalo gini." Velis kembali berucap ketika satu suapan spaghetti yang untuk kesekian kali telah berhasil masuk ke dalam lambungnya.

"Ini ada kaitannya sama Azka kan? Gue tau kalo soal kerjaan lo nggak akan kayak gini." Desaknya lagi.

"Lo ada masalah sama Azka? Dia nuduh lo yang enggak-enggak lagi?" Itulah celotehan yang keluar dari mulut Velis selanjutanya. Dia yang paling ngerti gimana hubungan gue sama Azka selama ini, bukan hanya hubungan sih, tapi soal kerjaan juga. Makanya sahabat gue ini hapal diluar kepala bagaimana gue kalau lagi ada masalah sama Azka atau gue yang lagi ada masalah sama kerjaan.

"Gue udah putus Vel." Gue akhirnya menjawab dengan suara yang amat pelan.

Nggak tau kenapa masih ada secuil rasa dihati gue yang masih nggak ikhlas untuk melepas Azka seutuhnya, meskipun sekarang sudah genap 9 hari sejak gue memutuskan hubungan dengan Azka. Hati gue belum bisa benar-benar menerimanya atau mungkin gue memang belum terbiasa, apalagi sampai sekarang Azka belum juga menghubungi gue setelah banyaknya panggilan dan pesan yang gue kirim. Agak absurd ya gue, secara gue yang mutusin, eh gue juga yang galau.

Caffeine (Completed)Where stories live. Discover now