39. Engagement Invitation

847 73 6
                                    

Tiga minggu setelah liburan tipis-tipis di Jogja, gue kambali disibukkan dengan perkerjaan yang luar biasa menguras otak. Gue bahkan lupa kapan terakhir kali gue bisa melihat langit jingga Jakarta di luar gedung kantor. Lembur adalah makanan sehari-hari gue sekarang.

Saat ini masih kurang dari jam delapan pagi dan gue sudah berada di dalam lift gedung GSF yang akan mengantarkan gue ke lantai tempat ruangan gue berada, just for your info, semalam gue sampai di apartemen jam 11.30 malam. Keluar dari lift gue menyapa beberapa pegawai yang berpapasan dengan gue, kemudian langsung menuju ke ruangan bertuliskan 'head of the planning management devision'.

Sesampainya di ruangan yang sudah gue huni dua bulan ini, sebuah undangan berwarna cream dengan desain yang terlihat manis tergeletak cantik di meja gue. Meletakkan tas dan botol minum di sudut meja yang kosong, mata gue tidak lepas dari undangan itu.

Heran, seinget gue, teman gue nggak ada yang koar-koar mau nikah ataupun tunangan, tapi kok ada undangan di meja gue dan di jam sepagi ini.

Dengan rasa penasaran yang tidak bisa terbendung, perlahan gue membuka undangan ini. Guess what, saat itu juga tubuh gue membeku. Entah apa yang gue harapkan, gue berulang kali membaca dua nama yang tertera di sana. Hingga belum sempat gue tersadar dari keterkejutan, sebuah ketukan di pintu ruangan gue seketika menghempaskan gue kembali ke alam sadar.

Gladis menyembulkan kepalanya dari balik pintu ruangan gue. "Mbak, tim project Papua udah siap meeting, di ruangan Sadewa ya."

"Duluan aja Dis, lima menit lagi aku nyusul."

"Oke mbak." Gladis melambaikan tangan dan kembali menghilang, meninggalkan gue dalam ruangan berukuran tiga kali tiga meter ini seorang diri, dengan berbagai hal yang berkecamuk di kepala gue.

Gue menghela napas berat, menyunggingkan senyum sebaik mungkin, menyingkirkan berbagai hal yang memperkeruh pikiran gue berkat hadirnya engagement invitation ini. Kemudian setelah dirasa gue sudah berhasil memasang topeng terbaik, gue keluar dari ruangan dan menyusul Gladis untuk meeting.

***

"Fara." Panggil mbak Lana begitu gue bersama Gladis masuk ke ruangan devisi planning management seusai meeting yang baru selesai sepuluh menit lalu. Mbak Lana kemudian dengan cepat menyeret gue duduk di sofa ruangan ini, disusul mbak Nadine, Jessi, Haikal dan tentu saja Gladis.

"Apaan sih?" Tanya gue bingung. Ini nggak mau ngomongin undangan di meja gue itu kan. Kalo iya, mending gue kabur.

"Ini Diar temen lo kan?" Tiba-tiba mbak Lana menyodorkan ponselnya yang menunjukkan akun youtube bernama Dididit Production dengan dua buah video di playlistnya. Menghasilkan gue yang tanpa sadar menghela napas lega.

"Iya mbak itu Didit alias Diar, dia emang pernah bilang sih mau mulai ngeyoutube kalau short movie-nya menang di Flickerfest International Short Film Festival." Gue kembali berhasil bersikap normal. Dalam hati, gue juga bersyukur kerena mereka sama sekali tidak menyinggung masalah undangan, atau mungkin mereka memang tidak mengetahui adanya undangan itu. Tapi woy, penting amat gue dikerubungi gini cuman buat nanyain Didit.

"Langsung trending tau Ra, short movienya udah ditonton lebih dari 5 juta penonton. Terus video perkenalannya langsung heboh sama fans-fans dadakan. Nggak heran sih ganteng banget soalnya" Jessi nimbrung dengan penuh antusias. Dan kalimat terakhirnya membuat gue meringis membayangkan bagaimana jika Didit tau fansnya begitu memuja tampang yang selalu dibanggakannya itu. Punya banyak mantan aja udah songong banget, sekarang ditambah fans-fansnya.

"Jangan bilang lo nggak nonton short movie-nya." Mbak Nadine bertanya curiga ketika melihat tampang gue yang lempeng-lempeng saja, atau lebih terlihat tidak antusias. Ya gimana sih, pikiran gue lagi banyak banget sekarang.

Caffeine (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang