22. Shocking Therapy

1K 80 5
                                    

(WhatsApp Mode)

From: Mbak Lana

Ra lo di mana?

Ra lo masih hidup kan?

Kalo lo masih pengen hidup cepetan sekarang ke ruang meeting Arjuna!

Ra sumpa ini urgent banget, demi apapun gue nggak bohong!

Gue tau memori otak lo emang agak bermasalah tapi lo nggak mungkin lupa kan boss baru kita datang hari ini?

Faraaaa..

Rentenan pesan masuk dari mbak Lana sukses membangunkan sel-sel mati dalam otak gue. Mampus lo Fara, bagaimana lo bisa lupa sih kalau boss baru alias pimpinan departemen baru lo dateng hari ini. Gue yang ditugasin buat jadi asisten, gue juga yang lupa, parah.

Tanpa ba-bi-bu gue langsung meluncur ke TKP, ruang meeting yang akan menjadi saksi bisu betapa malunya gue karena gue telat datang ke acara perkenalan kepala departemen yang baru.

Dengan gerakan pelan dan sebisa mungkin tidak menarik perhatian, gue mendorong knop pintu ruang meeting yang lebih dikenal dengan nama ruang Arjuna ini. Dengan penuh kehati-hatian akhirnya pintu mulai terbuka. Namun tentu saja mustahil keberadaan gue tidak terdeteksi di ruangan dengan ukuran lima kali enam meter ini. Mbak Desta, kepala devisi gue sudah melotot dan menunjukkan taringnya. Sedangkan disampingnya, mbak Gina, menatap gue khawatir. Mampus kan, menurut lo gue harus nagapain sekarang. Tenggelamkan saja saya buu.

"Lo dari mana aja sih?" Bisik mbak Lana setelah gue mengambil tempat di sampingnya.

"Dari pantry bikin minum." Gue balas berbisik.

"Lama banget."

"Sambil ngobrol sama anak lingkungan tadi." Kata gue, sambil mengatur napas yang ngos-ngosan hasil berlari dari pantry departemen pendidikan ke ruang Arjuna yang berbeda satu lantai.

"Ehemm." Suara baritone menggema membuyarkan bisikan gue dan mbak Lana. Seketika tubuh gue menegang dan otomatis menunduk. Suara itu adalah milik mas Ibram, kepala devisi lapangan yang sepertinya bertugas sebagai seseorang yang bertanggungjawab mengenalkan kepala departemen baru hari ini.

"Karena pak Gallendra sudah memperkenalkan diri, sekarang silahkan jika ada yang ingin ditanyakan pada pak Gallendra. Untuk perkenalan masing-masing pegawai sepertinya tidak perlu ya, kita bisa kenalan sambil jalan aja. Kecuali untuk pegawai wanita diujung sana, yang kayaknya sih lupa tidak memakai name tag. Sepertinya pak Gallendra akan kesulitan untuk berkenalan. Silahkan perkenalkan diri anda."

Shit, bukan gue kan yang dimaksud mas Ibram. Kenapa gue bisa lupa nggak pakai name tag, astaga. Sialan si mas Ibram, nyari masalah aja. Oke ralat, gue sih yang nyari masalah, meremehkan mas Ibram yang selalu ada saja ide jailnya.

Gue akhirnya dengan wajah kikuk mengangkat kepala, melirik sinis ke arah mas Ibram, dan betapa terkejutnya gue saat melihat sosok laki-laki yang tidak asing berdiri disamping mas Ibram. Oke, saking blank-nya otak gue hasil shocking therapy karena telat, gue bahkan tidak menyadari sorot mata laki-laki di depan sana yang tertuju ke gue sejak tadi.

Tebak siapa yang berdiri di samping mas Ibram. Yaps, dia adalah laki-laki yang waktu itu dengan lancangnya menyiratkan gue sebagai 'wanita murahan' saat gue pulang ke Bandung naik bus kurang lebih tiga minggu lalu. Sekaligus laki-laki yang mobilnya gue sabotase untuk mengantarkan salah seorang penumpang bus yang sakit.

Kemana aja lo Fara dari tadi, kenapa lo nggak sadar ada sepasang mata yang mengikuti setiap gerak gerik lo sejak masuk ke dalam ruangan meeting ini.

Caffeine (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang