23 : Masalah Baru

18 4 0
                                    

"Ya udah, semangat besok, ya," ucap Kenzo sambil mengelus puncak kepala Thania.

Thania tersenyum. "Iya, pasti."

Kenzo ikut menyunggingkan senyumnya ketika melihat Thania tersenyum. Alhasil mereka saling pandang dan saling mengulas senyum. Pemandangan yang sangat asri. Aura kebahagiaan ada dalam diri Thania.

Walau Thania sedang kelelahan dan berusaha menyiapkan yang terbaik untuk lombanya besok, ia masih saja menyempatkan untuk bertemu Kenzo. Sebenarnya Kenzo tidak memaksa, tetapi Thania lah yang memaksa. Dengan catatan, ia rindu.

Kenzo mengantarkan Thania pulang setelah matahari mulai turun, ia hanya takut mengganggu kondisi Thania. Jika Thania mengalami kekalahan saat lomba, bukankah itu salahnya karena mengajak Thania bertemu?

Thania melambaikan tangannya kemudian memasuki rumahnya. Ah, bau pengharum ruang rasa es krim langsung semerbak. Jika memasuki ruang tamu, yang teringat di memorinya hanya satu, Nayya. Nayya lah yang mengenalkan pengharum ini kepada Thania.

Sampai saat ini, ia masih suka dengan bau ini, tetapi ia tidak suka mengingat memorinya, yang berlalu biarlah berlalu, bukankah begitu? Ia tidak mau tetap bergelut dengan masa lalu sampai menghantui masa depannya.

Cukup sudah memorinya bersama Nayya terkenang dalam harumnya pengharum rasa es krim itu. Thania pergi ke kamarnya dan menutup rapat pintunya. Ia membaca tema dan mosi yang akan diperdebatkannya besok.

Ponselnya berdering, muncul nama Clara di layar kuncinya. Ah, anak itu meneleponnya. Ia tidak bisa mengangkat telepon itu, mulai detik ini ia harus fokus dan belajar, tidak ada yang boleh menganggunya.

Thania mendesah pelan kemudian mengambil ponselnya. Ia berjalan keluar dan memberikan ponsel itu kepada kakaknya. "Kak, gue titip. Sandinya udah gue ubah, nggak usah buka-buka. Nanti kalau ada telpon dari siapapun itu bilangin kalo aku belajar."

Kakak perempuan Thania mengangguk. "Belajar apa?"

"Lombanya besok, udahlah jawab aja belajar ... apa aja yang ada di pikiran kakak, bye!" sentak Thania yang mulai frustasi. Oh tidak, ia harus menata ulang mood dan pikirannya, dua hal tersebut tidak boleh rusak ketika ia mulai konsentrasi.

"Siap, Bos!"

__

Thania berlari menuju kelas. Ia menyempatkan untuk absen kepada Bu Mavis sebelum berangkat menuju tempat lomba. Ia juga memberanikan diri untuk meminta doa dan restu kepada teman satu kelasnya, semoga saja tidak ada halangan.

"Bu Mavis, kata pembimbing saya, saya dianggap masuk hari ini karena mengikuti lomba yang mewakili sekolah," ucap Thania sambil menyalami tangan Bu Mavis.

"OK! Semuanya, beri doa supaya Thania menang di lomba ini," ucap Bu Mavis membri perintah kepada muridnya.

Thania mengulas senyumnya. Terima kasih Bu Mavis, batinnya. Sebenarnya ia malas jika harus meminta doa restu, tetapi sejak kemarin malam ia sudah bertekad untuk berani dan Bu Mavis malah memberinya sebuah kejutan.

"Semoga menang, Than, semangat!" koor semua anak yang ada di kelas itu, termasuk Nayya dan Clara.

Sebuah perbedaan menonjol pada Nayya dan Clara saat mengucapkan kalimat tersebut adalah, Nayya melakukannya dengan ikhlas dan diiringi senyuman khasnya. Sedangkan Clara, bagaikan mendoakan anak tirinya yang sangat dibenci.

Thania melirik ke arah Clara. Apakah kakaknya kemarin telah berbuat kesalahan pada Clara? Ah sudahlah, tidak ada waktu untuk memikirkan hal tersebut. Thania segera berpamitan dan menuju titik pertemuan.

Thania menghela napasnya berat, grogi. Jujur saja walau sering mengikuti lomba debat, tak jarang ia merasakan grogi setiap hendak berangkat dan mulai masuk ke panggungnya. Bayangkan saja, jika ia terpeleset atau pingsan?

Ah, Thania ini memang hiperbola!

__

"Gue bawa berita hot nih, teman-temanku yang cantik jelita," ucap Leyla datang ke arah meja yang diduduki Nayya dan keempat temannya.

"Apa? Cepetan, ga pake lama!" perintah Seryl seakan haus dengan bahan perbincangan.

"Lo tau Thania? Dia tadi lomba kan sama temen-temen debat lainnya. Nah, lo tau nggak sih siapa yang duduk sama Kenzo sekarang?"

Sontak mereka yang ada di emja itu langsung memutar kepala mereka menuju tempat yang biasa Kenzo duduki. Sedangkan Leyla hanya bisa menghela napas kasar, bagaikan mempunyai lima anak yang tidak tahu diri.

"Kalian liatnya gantian terus santai bisa ga sih?" tanya Leyla geram, namun pelan.

Kelima anak yang seolah sedang dimarahi oleh ibunya itu hanya mengdnikkan bahunya seolah malas untuk menanggapi ibunya yang cerewet. Leyla hanya bisa menghela napas sabar dan duduk di salah satu kursi.

"Itu siap---"

"Itu Clara, gue udah liat soalnya, gue nggak cuma liat posturnya tapi gue beneran lihat, beneran sumpah, gue beneran lihat," sela Leyla dan berkata dengan sungguh-sungguh.

Naisya mendecak. "Iya-iya, kita percaya, nggak udah hiperbola gitu."

"Ya gue kan semangat," elak Leyla. "Kenzo masih sama Thania kan, Nay?"

Nayya mengangguk pelan. Ia tidak menyangka Kenzo akan berperilaku seperti itu. Sosok yang selama ini selalu dipercaya Nayya ternyata mulai berubah. Entah pengaruh dari Thania atau justru Clara, yang sekarang duduk bersama Kenzo.

Sedih? Tentu saja, Nayya merasakan kesedihan ini. Nayya bersedh bukan karena Kenzo dekat dengan Clara, tetapi ia seakan menempatkan dirinya ada di posisi Thania sekarang. Bukankah itu menyakitkan?

"Udah, Nay, nggak usah diurusin," ucap Sia memberi semangat. "Mungkin Kenzo udah berubah," tambahnya.

Nayya menggeleng kuat. Ia yakin itu bukan diri Kenzo yang asli, Kenzo tidak pernah melakukan hal bejat semacam itu. "Nggak, itu bukan Kenzo, bukan."

"Coba kamu tanya dia," usul Seryl dan disetujui oleh kelima temannya. Seryl tersenyum bangga ketika kelima temannya, terlebih lagi Sia, menyetujui usulannya. Jarang-jarang.

Nayya dengan cekatan mengetikkan sesuatu di atas layar ponselnya. Ia membutuhkan sebuah pengakuan sekarang. Ia masih memiliki rasa kasihan kepada Thania. Bagaimana jika Thania mengetahui ini? Bukankah kasihan?

Nayya dengan sumringah memperlihatkan layar ponselnya yang menunjukkan ruang percakapannya dengan Kenzo. Di sana Kenzo menuliskan bahwa, dirinya duduk bersama Clara hanya semata-mata permintaan Clara. Bukan ada maksud lain.

"Fyuh, kalau gitu mah nggak apa-apa," ucap Leyla lega. Sebenarnya ia juga tidak tega jika Thania mengetahui hal ini.

Nayya mengulas senyumnya. Jika ini benar terjadi, ia akan sangat menyesal karena mengenal Clara dan menyesal karena mempersilakan Kenzo masuk dalam kehidupannya.

"Semoga aja nggak bener, guys," ucap Seryl pelan. Ia juga mampu merasakan tanda-tanda terjadinya sesuatu di masa yang akan datang.

"Semoga aja, kita berdoa yang terbaik buat semuanya," ujar Sia menengahi.

"Iya, kan ramalanku juga nggak mesti bener," sahut Seryl. Tetapi, dalam sorot matanya terdapat keraguan saat mengucapkan hal ini.

Apakah Seryl benar-benar mengetahui sesuatu yang akan terjadi di antara Clara, Thania, dan Kenzo di masa yang akan datang? Jika iya, mengapa ia tidak memberitahu teman-temannya? Apakah ia ragu dan takut?

***

Problematika Perempuan [END] Where stories live. Discover now