16 : Iri Hati

26 7 1
                                    

Terkuak, dua pasang mata itu adalah milik Clara dan Thania yang sedang melihat kemesraan Nayya dan Kenzo dari balik tembok.

"Cepet ke sana!"

Thania mendecak sebal atas perintah Clara. Ia kira menyukai seseorang dan berkeinginan menjadi pendampingnya semudah membalikkan telapak tangan? Dia saja yang belum pernah merasakannya, dasar Clara!

"Lo kira gue cabe-cabean? Lo nggak lihat tuh pasukan mereka?!" gertak Thania.

Clara mendecih. "Gitu aja ngg---"

Thania memelototkan matanya kepada Clara, mengisyaratkan bahwa Thania menyuruh Clara untuk diam. "Diem."

Clara menepuk pelan bahu Thania kemudian menunjuk Nayya dan Kenzo yang masih berpelukan. "Nggak iri, Than?"

Thania memutar bola matanya kesal. "Lo pikir gimana?"

Clara terkekeh. Ia memang jarang jatuh cinta kepada seseorang, pantas saja jika dirinya awam di lingkungan percintaan. Tunggu, Thania tampak terpesona ketika melihat Clara tertawa. Bagai sesuatu yang langka jika melihat Clara tertawa tulus. Ah, damai.

"Ya udah, pulang aja. Lagian lo sih, kemarin pake jual mahal segala," cerocos Clara.

Thania mendecak. "Iya-iya gua salah."

"Sekarang nyesel 'kan nggak jadi deket sama Kenzo?"

"Iya-iya, udah pulang aja," ucap Thania sambil menggiring Clara menuju ke tempat parkir. "Mampir kedai es krim yuk, Ra."

Mereka berdua berjalan berdua bahkan bergandengan tangan menuju tempat parkir. Mata Nayya melihat sekilas hal tersebut. ia menjadi tak enak hati. Antara geram karena ia sudah tidak bersama mereka, iri karena mereka masih langgeng, dan juga takut jika Thania menaruh dendam padanya ketika melihat Kenzo tadi.

Nayya menghela napasnya pelan, bagai satu kilogram masalah terkeluarkan bersama helaan napasnya. "Gue iri sama Clara," cetusnya pelan.

Sontak kelima temannya ditambah Kenzo dan Raif menolehkan pandangan mereka ke arah Nayya. Apa yang Nayya pikirkan hingga ia berucap seperti itu? Apakah ia sudah terlalu lelah dengan semua ini?

"Kenapa, Nay?" tanya Sia dan mendekati Nayya. "Cerita aja."

"Ya gue iri aja sama dia. Yang sahabatan siapa yang dapet siapa, kaya perusak tau nggak sih," umbar Nayya kesal.

Sia mendesah pelan. "Iya juga sih, kesannya dia datang-datang merencanakan sesuatu terus melakukannya."

"Iya emang, dulu aja dia baik banget sama gue, lah sekarang? Malah musuhin gue," sahut Nayya. "Ngerti gini gue nggak bakal nerima dia hadir dalam hubungan gue sama Thania."

Sia memeluk tubuh Nayya. Ia tahu apa yang dirasakan Nayya, mungkin ini adalah warisan dari nenek moyanngnya, bisa merasakan perasaan orang lain. Nayya sedang bersedih sekarang, bahkan hati Nayya tak cukup kuat untuk menjalani masalahnya.

"Gue tahu lo kuat, Nay," celetuk Naisya.

Nayya hanya tersenyum membalas ucapan Naisya. Ia tahu, sedari dahulu ia menetapkan sebuah mindset pada dirinya bahwa dirinya akan selalu kuat menghadapi masalah bentuk apapun. Yah, sebatas mindset yang menguatkannya.

"Gue aja benci sama dia, Nay. Apalagi elu," celetuk Gladys. "Gue dulu satu SD sama dia, emang dari kecil udah terdidik kaya begitu."

Nayya melepas pelan rangkulan Sia. Ia mengerutkan keningnya ketika mendengar celetukan dari Gladys. "Emangnya gitu?"

Gladys mengangguk. "Iya, dia pernah di­bully gara-gara jadi tukang bully aneh 'kan?" tambahnya diikuti tawanya yang menggema.

Nayya terkekeh pelan. Aneh memang, sosok ketua dan terkena senjatanya sendiri. Apakah dirinya seperti itu juga? Oh tentu tidak, dirinya sedari dulu tidak pernah memisahkan hubungan seseorang.

"Gue pulang dulu ya, dicariin Mak gua," pamit Nayya setelah beberapa saat mengobrol dengan teman-temannya. Selain dicari Mamanya, ia juga lelah jika harus di luar rumah seharian.

Nayya berjalan menyusuri lorong menuju halaman depan. Hari ini, ia tidak membawa motor sendiri karena tiba-tiba tadi pagi kepalanya terasa pusing. Di depannya dengan jarak beberapa meter tampak Clara dan Thania duduk berdua sambil bertukar es krim.

Nayya tertawa dalam hatinya. Secepat itukah dia melupakan Nayya? Seburuk itukah Nayya di hadapan mereka sehingga mereka sama sekali tidak merasa enggan? Nayya hanya menghela napasnya pelan. Lebih baik pulang daripada saling ...

"Waduh, ada Nayya, ya?" celetuk Clara.

"Bang*at, sumber masalah datang," batin Nayya kesal. "Kenapa?"

Teman-teman Nayya yang tadinya masih di kantin ikut membuntuti kemana arah Nayya pergi. Bukan memanjakan Nayya sebagai anggota baru, melainkan mereka hanya takut jika Nayya kelepasan saat bertemu dengan Clara.

"Lo mau es krim?" tanya Thania. "Gue traktir deh."

Nayya menggeleng tegas. "Nggak."

"Duh, gue kira semua anak kecil suka sama es krim loh, Than. Dia kok enggak, ya?" tanya Clara berlagak bodoh.

Nayya menyeringai. "Oh, lo kira gue bocah?"

Clara tertawa. "Jelas dong, perilaku lo kan sebelas dua belas sama bocil, bocah cilik."

Nayya mendecih kemudian menarik napasnya dalam untuk persiapan mengeluarkan semua kata-kata yang ia rancang mendadak. "Terus kalau gue bocah lo apaan? Zigot? Pantesan ya zigot, soalnya nggak bisa mikir, ups."

Sia yang bersembunyi di balik pohon menepuk dahinya pelan. Sebenarnya ia juga menahan tawanya ketika Nayya mengucapkan kalimat itu. Lucu saja, bahkan teramat lucu menurutnya.

"Berani lo ya sama gue?" tantang Clara sembari memberikan es krimnya kepada Thania dan maju mendekati Nayya.

Bukannya menggubris Clara, Nayya malah semakin memnacing keadaan. "Loh, Than, punya kerjaan baru, ya? Jadi babu 'kan? Ups."

"Lo kira dia babu? Asal lo tahu dia lebih bahagia sama gue daripada sama lo dulu, dia udah ngomong sendiri," ucap Clara geram.

"Blablabla," sindir Nayya. "Udah ngocehnya?

Clara memicingkan matanya. Baru kali ini Nayya mampu mengungguli dirinya. Ini tidak bisa dibiarkan. "Gue nggak ng---"

"Kalau belum selesai gue tungguin sampe lo capek ngoceh," sela Nayya sambil mengangkat alis sebelah kirinya.

Lagi-lagi Clara menggeram karena kesal dengan ucapan Nayya yang semakin menjadi-jadi. Sebenarnya apa yang dimakan Nayya sehingga bisa berkata-kata pedas seperti ini? andai saja dirinya juga tahu.

"Gue setiap hati makan nasi, ra," jawab Nayya sambil mengendikkan bahunya.

Tampak keterkejutan dari sorot mata Clara. Tetapi, dengan lihainya dia mampu mengendalikannya. Clara berdehem, gawat, ia mulai kehabisan kata-kata untuk mebalas Nayya. Apakah dirinya pergi saja supaya dikira petinggi?

"Paling gue ngira lo sebagai rendahan aja," sahut Nayya dan berlagak tidak tahu apa-apa.

Clara mendecih. "Males banget debat sama lo."

"Lah? Yang mulai siapa? Gue kan cuma nerusin aja, biar suasana makin klop gitu," ucap Nayya diiringi tawa kecilnya.

Clara mengajak Thania untuk pergi dari hadapan Nayya. Pada saat itu pula Nayya mengeluarkan napas panjang dan saat itu pula kelima teman Nayya yang bisa dianggap sahabat Nayya datang mengerubungi Nayya. Terkejut? Pasti.

"Eh, kalian, kenapa di sini?"

"Lah kita kira lo udah pulang, Nay. Tau-taunya debat sama mak lampir," kekeh Naisya seolah memuji Nayya.

Nayya tersenyum. "Dia sih yang mu---eh, Mama!"

"Halo, Ma," sapa Nayya pelan.

"Mama udah di depan, Kan, cepetan," jawab Mama Nayya dari sebenrang.

Nayya mengangguk pelan seolah Mamanya tahu anggukan itu. Ia berpamitan pada kelima sahabat barunya dan berlari kecil ke arah gerbang depan. Ia menemukan mobil merah milik Mamanya dan masuk ke dalamnya.

***

tbc guys, semoga ga ikut kesel sama Clara yaa:")

Problematika Perempuan [END] Where stories live. Discover now