17 : Kekesalan

20 5 0
                                    

Keesokan paginya, Nayya datang ke sekolah berboncengan dengan Leyla. Harapan kecilnya semakin hari semakin luntur. Ia selalu berharap jika Clara dan Thania berhenti bertikai dengannya. Memangnya, apa untungnya? Toh juga tidak ada.

"Nay, gue ke kelas dulu, ya," pamit Leyla.

"Iya, hati-hati," jawab Nayya dan masuk ke dalam ruang kelasnya. Tentu saja ia mendapat sambutan dari sosok yang akhir-akhir ini berurusan dengannya, siapa lagi jika bukan Clara?

"Duh, anak manja datang," sindir Clara sambil menaikkan kakinya di atas kaki satunya.

Nayya tersenyum palsu kemudian mencari tempat duduknya. Untung saja hari ini ia tidak duduk di sekitar Clara, jika iya, ia akan merasa ingin mati saat itu juga. Lagipula, siapa yang mau diganggu saat belajar? Bukankah semua orang menginginkan konsentrasi?

Clara mendecak geram. Secuil perasaan bangga dan kesal ada pada dirinya. Sebenarnya, terbuat dari apa sih pikiran Nayya? Ia hanya ingin menandingi Nayya dan menjadi orang yang selalu dielu-elukan di kelas ini.

"Nayya, dipanggil Ibunda di ruang kepala sekolah," ucap Bu Mavis ketika sampai di kelas.

Nayya mendesah pelan. Ada apa ini? Mengapa dirinya dipanggil kepala sekolah? Padahal dirinya tidak melakukan apa-apa. Fyi, Ibunda adalah nama panggilan wakil kepala sekolah di Jaindu ini.

Jangan-jangan Clara melaporkan sesuatu yang tidak-tidak kepada Ibunda? Apakah benar begitu?

"Permisi, Bunda," salam Nayya sambil mendorong pintu.

"Masuk, Nay."

Nayya duduk di kursi yang berada di depan Ibunda. Pikirannya sudah rancu, apalagi hatinya, sangat tidak bisa dinormalkan. Grogi hanya karena bertemu Ibunda? Tidak, Nayya hanya takut jika ada rumor tidak baik darinya.

"Ini, kamu ikut lomba ini bisa?"

Nayya menghela napas lega. "Ah, bukan ternyata," batinnya. "Tapi ini fashion show, Bu. Saya bakatnya di modelling," ucapnya.

"Menurut Bunda, kamu lebih cocok dan pantas daripada anak fashion show. Coba aja dulu, Bunda sangat percaya pada kamu, Nay. Sudah berapa piala dari modelling yang kamu dapat selama di Jaindu ini? Banyak 'kan?" jelas Ibunda.

Nayya tampak ragu memikirkan hal ini. Apakah dirinya mampu untuk mengikuti lomba yang bukan bidangnya? Memang ada kemiripan yang banyak antara bakatnya dan lomba ini, tetapi apakah ia bisa?

"Yakin dulu, Nay. Bunda tahu kamu bisa," ucap Ibunda meyakinkan Nayya. "saya juga bisa kaya kamu," kekehnya.

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ibunda, Nayya hanya bisa meringis kecil. Ia sudah mengetahui hal ini dari awal, tetapi ia lupa. Ah, bodoh sekali dirinya, melupakan suatu hal bahwa Ibunda juga bisa membaca pikiran sama sepertinya.

"Saya coba dulu ya, Bu," ucap Nayya dan bersiap pergi.

"Ini lombanya berpasangan, nanti kalau kamu sudah yakin kabari Bunda lagi, ya," tambah Ibunda kemudian mempersilakan Nayya untuk keluar dan kembali bergabung di kelas.

Nayya berjalan sambil berpikir siapa yang mau menjadi pasangannya di lomba ini. sangat tidak mungkin jika ia mengajak anak ekskul fashion show bukan? Bagaikan menyulut api ditambah minyak tanah, semakin besar urusannya. Lalu dengan siapa?

Ah sudahlah, ia capai memikirkan hidupnya. Andai saja ia tidak ... ah, tidak ada gunanya berandai. Ia juga bukan penyihir yang bisa mengubah nasib orang dan ia juga bukan peri yang gampang bersembunyi dari dunia.

"Permisi, Bu Mavis," salam Nayya dan pergi menyalami Bu Mavis di meja guru kemudian duduk di bangkunya.

Selang beberapa waktu, Clara menyeletuk dengan keras, "Lo masuk kelas kok nggak salam sih, Nay?"

Beberapa anak yang tidak mendengar salam Nayya karena fokus dengan tugas mereka juga ikut menmbetulkan omongan Clara. Kelas ini tampak riuh hanya dalam hitungan detik. Nayya mengernyitkan kedua alisnya menanggapi mereka semua.

"Gue udah salam," ucap Nayya.

"Kita nggak denger, Nay. Lo nggak punya tata krama banget sih," kritik Thania.

Nayya berdiri dan mendekati rombongan anak yang berdiri seakan meminta pertanggungjawaban kepada Nayya. "Terus gue harus bilang permisi pakai toa gitu? Atau harus teriak? Atau harus bilang permisi di depan muka kalian biar kalian tahu? Mana yang ada tata kramanya dan mana yang enggak? Kalian bisa bedain nggak sih?"

Bu mavis berdiri dan melerai mereka dan mengucapkan suatu kalimat yang mengejutkan rombongan itu. "Nayya udah salam, kalian aja yang nggak denegr. Duduk atau saya panggilkan guru BK yang galak karena telah memutar balikkan fakta? DUDUK!"

Di belakang Bu mavis, tampak Nayya yang sedang tertawa kecil diikuti seringaian yang seakan mengejek Clara dan Thania. Dirinya sama sekali tidak bersalah, bayangkan saja, apakah tidak kesal jika setiap hari diganggu seperti ini? seakan ada setan pengganggu yang menempel di badan Nayya selamanya.

"Kesel nggak lo?" tanya Nayya berapi-api kepada teman-temannya setelah ia mengakhiri ceritanya.

"Yang buka jasa santet siapa? Yang murah gitu atau bisa dinego harganya," ucap Leyla ikut kesal mendengar cerita Nayya. "Eh, nyantet bayar nggak?"

Sontak semuanya mengendikkan bahu mereka. Siapa juga yang tidak kesal jika seperti itu? Mendengar ceritanya saja kesal terlebih lagi menghadapinya. Sebenarnya, Clara dan Thania termasuk golongan manusia atau bukan?

"Gue mau beli es teh, mau nitip? Nanti gue bawa ke sini," tawar Sia dan berdiri dari tempat duduknya.

Nayya merogoh sakunya dan memberikan selembar uang sepuluh ribuan kepada Sia yang sudah berdiri. "Gue es teh sama gorengan terserah apa aja yang penting bisa dimakan."

Sia kembali membawa sebuah nampan kecil berisi empat gelas minuman dan di jarinya tampak satu plastik gorengan milik Nayya. Di belakang Sia, tampak Naisya yang membawa nampan kecil persis seperti yang Sia bawa berisi empat gelas minuman juga.

Bagai anak ayam kecil yang sudah lama tidak dapat makanan, mereka langsung berebut minuman tersebut dan mengambil gorengan milik Nayya sesuka hati mereka. Tiada maksud apa-apa, tetapi inilah Nayya, suka membagikan makanannya.

"Gue mau ngomong, tapi kalian jangan kesedak, ya," celetuk Nayya di tengah aktivitasnya.

Naisya dan Leyla mengangkat kedua alis mereka bersamaan seakan bertanya, apa pada Nayya. Nayya tampak menghela napasnya beberapa kali. Ia cukup ragu untuk mengatakan hal ini.

"Jadi ... gue disuruh Ibunda buat ikut lomba fashion show," ucap Nayya.

"Uhuk-uhuk." Sekitar lima orang yang masih mengunyah makanan mereka sedikit tersedak karena mendengar ucapan Nayya.

Nayya mendecak. "Kan gue udah bilang, jangan kesedak."

"Lo sih, ngagetin," sanggah Seryl.

"Lah, salah gua! Udah, gue cuma bilang itu aja," ucap Nayya. "Dan lebih parahnya lagi, lombanya berpasangan."

Mereka tersedak untuk kedua kalinya. Nayya mendecak pelan melihat kejadian itu berulang dua kali. Kemudian ia menyeletuk, "Gue bilang lagi nanti kalian pingsan gitu?"

"Bilang apa lagi?"

"Bunda nggak percaya sama anak fashion, gue jadi takut."

Mereka beralagak pingsan di hadapan Nayya, membuat Nayya semakin malas dengan keadaan. Bisa-bisanya ia dibuat kesal dengan tiga kelompok berbeda. Setelah ini, siapa lagi?

***

setelah dipikir-pikir, kasihan Nayya, ya?

Problematika Perempuan [END] Kde žijí příběhy. Začni objevovat