7 : Perpisahan

27 12 1
                                    

"Bu, mahkotanya bisa ganti yang kecil nggak? Kepala saya terlalu berat untuk ditambahi beban lagi, Bu," keluh Nayya ketika kepalanya dipakaikan mahkota oleh Bu Fania.

"Emangnya kenapa? Kalau memang nggak bisa nahan nanti Ibu carikan yang lebih ringan," ucap Bu Fania sambil mengangkat kembali mahkota tersebut dan meletakkannya di tempat yang aman.

Mata lelah Nayya semakin tidak bisa dibuka setelah matanya menampung beban terlalu berat di bulu matanya. Ia benar-benar ingin mengumpat sekarang. Nayya yang tadinya tidak mengantuk menjadi mengantuk karena bulu mata sialan itu.

Entah keberapa kali Nayya bersin saat wajahnya ditimpa make up. Mungkin hidungnya sedikit terganggu dengan adanya bedak yang tidak biasa di situ. Nayya hanya bisa berharap lombanya cepat selesai dan masalahnya sudah selesai.

"Semangat," bisik Kenzo tepat di telinga Nayya membuat empunya berjengit kaget.

Nayya refleks memukul pelan lengan Kenzo yang masih berdiri di sebelahnya. Jantungnya sedang tidak aman sekarang, detak jantungnya meningkat dikala embusan napas Kenzo terdengar di telinga Nayya tadi. Ah, untung saja Kenzo tidak bisa membaca pikiran seperti Nayya. Jika ia bisa, gawat sudah.

Bahkan pipinya bersemu merah. "Aah, kapan ilangnya," batin Nayya kesal.

Padahal hubungan mereka sudah di titik akhir. Tetapi, bisa-bisanya Nayya masih menaruh hati pada Kenzo. Biarlah ini menjadi kenangan, kenangan yang menurut Nayya adalah kenangan terindah. Dimana ia baru pertama kali menjalin hubungan dengan seseorang yang sejak dahulu ia kagumi.

Setelah bibirnya dipenuhi oleh beberapa lapis lipstik, Nayya berdiri dan berjalan mendekati Kenzo yang sudah duduk menunggunya bersama Raif. "Zo, udah."

Kenzo mendongak ketika Nayya berdiri di hadapannya. Menawan, itulah kata pertama yang Kenzo pikirkan ketika melihat Nayya. Anggun, itu adalah kata kedua yang Kenzo pikirkan. Intinya, Nayya adalah sosok wanita yang menawan dan rupawan.

Tetapi, beberapa detik setelah Kenzo terpana atas keanggunan Nayya, ia berpaling. Ia sadar jika hubungan mereka sudah diambang keakhiran. Sosok yang menawan dan anggun yang Kenzo kagumi tak akan lagi menjadi kekasihnya setelah lomba model ini berakhir.

Ia berdiri dan menarik Nayya untuk pergi ke depan ruang make up. Mereka berdua tampak saling memandang, saling mengagumi, dan saling tersakit. Ini adalah kali terakhir mereka bergandengan tangan.

"Zo, ma-makasih," titah Nayya.

Air matanya mengambang di pelupuk mata, satu kali ia berkedip, jatuh sudah. Masalahnya memang tak serumit benang ruwet, tetapi sayangnya ia tidak tahu cara menyelesaikannya, sampai ia harus merelakan hubungannya dengan sosok yang ia kagumi sejak lama.

Ah, sudahlah. Inilah yang dinamakan penyesalan. Nayya sudah merasakan apa itu penyesalan. Hubungannya dengan Kenzo sudah tidak bisa diulang seperti sedia kala lagi. Lomba selesai, hubungannya pun selesai.

Nayya mengulas senyumnya dan berusaha mengalihkan pikirannya yang sedari tadi tentang hubungannya dengan Kenzo. "Nanti balik ke sini lagi, 'kan?"

"Iya, balikin baju sama hapus make up-mu," jawab Kenzo tanpa menatap Nayya. Fokusnya tetap tertuju pada benda pipih yang ada di tangannya itu.

"Zo," panggil Nayya sambil menoel pipi kiri Kenzo, berharap sang pemilik pipi menoleh padanya.

"Apa, Nay?" Kenzo menoleh ke arah Nayya yang menatapnya dengan muka cemberut. "Fyuh, iya deh gue minta maaf."

___

"Peserta berikutnya, dari Jaindu Hingh School. Kanayya Eugene dan Kenzo Floreter," panggil MC lomba tersebut memanggil Nayya dan Kenzo.

Mereka berdua berjalan dengan elegan menuju panggung depan. Mereka tampak melakukan catwalk beberapa kali sampai akhirnya berhenti di depan. Beberapa pose telah mereka lakukan sampai akhirnya mereka turun dan kembali ke tempat mereka.

"Nay, mau minum?" tanya Kenzo sambil mengulurkan tangannya yang memegang air minum.

Nayya mengangguk dan menerima uluran tangan Kenzo. "Makasih, Zo."

Kenzo tersenyum dan mengulurkan tangannya kembali, kini bukan air minum melainkan selembar tisu. Ah, rupanya Kenzo melihat betapa berkeringatnya Nayya. Lelaki itu masih saja memedulikan kondisi Nayya. Padahal mereka sudah ... putus.

Setelah menunggu beberapa saat, tibalah saat yang ditunggu-tunggu setiap perlombaan, yaitu pengumuman. Nayya dan Kenzo berhasil menggaet juara satu, sedangkan Sia dan Raif menapat juara kedua. Mereka menerima piala dengan bangganya. Mereka berempat berhasil membuat Jaindu lebih naik lagi.

"Nay, nanti mau jalan?" tanya Kenzo ketika mereka berdua sudah keluar dari area lomba.

Nayya memasang senyumnya singkat kemudian ia menggeleng. Ia menghela napasnya lalu menjawab, "Nggak, Zo. Maaf banget, bukannya kita udah selesai ketika lomba selesai?"

Kenzo tersenyum kecut menanggapi ucapan Nayya. "Iya, gue ngerti. Tapi tolong jangan di sini bahasnya. Gue perlu waktu buat bahas ini."

Mereka berdua sepakat untuk membahas hal itu di rumah Kenzo yang sedang sepi. Mereka hanya ingin mereka berdua saja yang mengetahui masalah ini. Hubungan yang tinggal beberapa menit lagi sudah kandas.

"Nay, gue cinta sama lo," tutur Kenzo. Tidak ada raut kebohongan di dalam wajahnya. Ia benar-benar tidak berbohong tentang perasaannya kepada Nayya. Semua itu benar dan benar dirasakannya.

Nayya meneteskan air matanya. "Plis, Zo. Gue juga sayang sama lo, tapi plis jangan buat gue semakin sakit hati dan pusing mikirin semuanya."

"Ini adalah salah satu mimpi gue sejak gue kagum sama lo, Zo. Apa mimpinya? Gue pengen jadi pacar lo. Dulu, gue kira menjalin hubungan sama sosok yang gue kagumi itu menyenangkan. Ternyata gue salah, Zo. Iya bener, kita saling suka, saling sayang. Tapi kenapa semuanya jadi kaya gini? Menjalin hubungan dan saling suka emang mudah—gue kira, tetapi ternyata enggak. Ini emang salah gue, mutusin hubungan sesuka hati. Tapi semua ada sebabnya.

Lo bisa bilang gue yang salah, semua salah gue. Gue hanya milih dari dua pilihan, Zo. Antara mutusin hubungan atau mutusin persahabatan. Lalu, gue milih mutusin hubungan kita, kenapa? Karena gue lebih sayang sama mereka," jelas Nayya dengan mata yang semakin basah. Ia memang memilih kedua sahabatnya daripada Kenzo.

Inilah yang dinamakan skala prioritas. Nayya harus memilih mana yang lebih penting dan merelakan salah satu pilihannya. Kedua sahabat Nayya memang sudah menemani sedari lama. Walaupun mereka sudah menyakiti Nayya, merekalah yang paling berarti untuk Nayya, bukan Kenzo.

Kenzo mengelus puncak kepala Nayya pelan. Ia akan rindu engan sosok perempuan ini. Rindu akan cerewetnya, rindu dengan perilakunya, bahkan rindu dengan sifat manja Nayya. Kenzo tidak pernah membayangkan jika hubungannya dengan sosok perempuan yang ia kagumi akan berakhir.

"Zo, m-makasih udah sayang sama gue, udah mau ...." Nayya menghentikan kalimatnya. Air matanya tidak mau berhenti, ia menangis sesenggukan. Kenangannya dengan Kenzo tiba-tiba muncul dan membuatnya semakin tersakiti dengan keputusannya.

Nayya bingung harus mengatakan apa. Ia hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada Kenzo yang sudah mau menjalin hubungan dengannya. Nayya tahu, Kenzo adalah sosok yang patut untuk dikagumi banyak orang. Ia bersyukur bisa menjadi salah satu mantannya.

"Nay, gue mau ngomong satu lagi sama lo."

Problematika Perempuan [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang