11 : Baik-Baik Saja

33 9 0
                                    

Pagi ini, Nayya bertugas untuk mengumpulkan buku Bahasa Indonesia di meja guru. Nayya berjalan pelan, tapi pasti. Ia hanya tidak ingin mengganggu siswa lainnya yang sedang belajar.

Ketika sampai di ruang guru, ia mendapati sosok Clara yang berdiri di samping guru yang Nayya ketahui adalah penanggung jawab pengiklanan sekolah. Ia baru sadar jika pagi ini ia belum bertemu si pembuat onar.

Karena bukan urusannya, Nayya kembali ke kelas setelah tugasnya selesai. Ketika ia hendak kembali ke kelas, tangannya dicekal oleh seseorang. Otomatis Nayya membalikkan badannya dan melihat sosok yang baru saja ia batinkan-Clara.

"Lo mbuntutin gue?"

Nayya tertawa kecil. "Buat apa? Kurang kerjaan banget gue buntutin lo, Ra."

Clara mengernyitkan dahinya. "Terus nga---"

"Gue ngumpulin buku, napa lo?! Ngapain juga gue buntutin lo, hal yang berguna banget," sergah Nayya dan melepaskan cekalan Clara. Ia berjalan ke kelas dengan perasaan yang terluka.

Ia sama sekali tidak menyangka jika Clara akan menuduhnya dengan tuduhan kocak. Lagipula, kenapa ia melakukan hal yang tidak berguna seperti itu? Jika yang berguna masih ada, lantas mengapa melakukan hal yang tidak berguna? Hanya membuang waktu saja.

Sudah cukup, tuduhan dan segala macam bentuk lainnya sudah hilang mulai hari ini. Nayya yang baru akan bangkit dan melawan semua tuduhan dan sindiran yang keluar dari mulut Clara dan juga Thania. Jika mereka bisa melakukan hal itu, kenapa Nayya tidak?

Nayya duduk di bangkunya setelah mengucap salam kepada guru yang sedang mengajar. Mood-nya buruk seketika setelah tuduhan yang keluar dari mulut Clara. Mungkin itu tidak seberapa baginya, tetapi itu cukup keterlaluan.

"Oh, hai, Clara!" sapa Bu Mavis, selaku guru Bahasa Jerman.

Clara tersenyum dan mendekati bu Mavis. Perasaan Nayya dan beberapa temannya sudah tidak enak ketika Clara tersenyum dan memamerkan kesombongannya.

"Semuanya, teman satu kelas kalian berhasil menjadi salah satu tokoh utama dalam pengiklanan sekolah kita, Jaindu High School," jelas Bu Mavis sambil menunjuk Clara yang masih tersenyum sombong.

Mendengar penjelasan tidak penting dari Bu Mavis, Nayya dan beberapa teman lainnya mendecak kesal. Apa pentingnya Clara menjadi tokoh utama? Apakah mereka harus membanggakan diri hanya karena prestasi individu? Menurut Nayya tidak penting dan membuang waktu.

"Terima kasih, Bu. Terima kasih juga teman-teman yang sudah mendukung saya untuk menjadi duta kelas dan tokoh utama pengiklanan sekolah kita," beber Clara tanpa mengurangi kadar kesombongannya.

"Emangnya ada yang dukung lo?" tanya Nayya dengan nada sok terkejut.

Clara menggeram ketika Nayya menanyakan hal tersebut. Jika diingat, memang tiada siapapun yang mendukungnya. Lagipula, ia terpilih hanya karena tidak ada kandidat selain dirinya alias ia terpilih otomatis tanpa lawan.

Suasana mendadak hening setelah pertanyaan itu keluar dari mulut Nayya dengan sengaja. Mereka semua terkejut ketika melihat perubahan Nayya yang semakin hari semakin drastis. Tampaknya rasa kemanusiaan Nayya mulai hilang perlahan.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Nayya?" tanya Bu Mavis yang tampaknya juga tersinggung.

"Saya bertanya sesuai keadaan, Bu, tidak menambahi dan tidak mengurangi. Karena, setahu saya dari kelas ini tidak ada yang mendukung Clara untuk menjadi posisinya sekarang," jelas Nayya dengan tenang. "Dia terpilih otomatis karena tidak ada kandidat lainnya," sambungnya tegas.

Bu Mavis mengangguk-angguk. Beliau mempersilakan Clara untuk kembali ke tempat duduknya supaya tidak terjadi pertengkaran yang lebih lanjut antara kedua siswa ini. Sesuai pemikiran Bu Mavis, mereka berdua sedang memilki masalah lain.

Bel istirahat berbunyi kencang. Nayya berjalan keluar kelas menuju ruang ekskul modelling. Mungkin, ketenangannya akan ia temukan di sana. Walau sedang tidak ada event, ia hanya ingin berkeliling ruang yang elegan nan simpel itu.

"Mau kemana lo?" tanya Clara sambil menjambak pelan rambut Nayya.

Nayya melepas paksa tangan Clara yang sembarangan menyentuh rambut mulusnya. "Suka-suka gue, emang lo siapa?"

Clara mendecak kesal. "Gue? gue m---"

"Monyet." Nayya pergi setelah mengatakan satu kata tersebut.

Di ruang ekskul tersebut, Nayya disambut oleh beberapa orang yang tujuannya kurang lebih hampir sama dengan Nayya-mencari ketenangan. Ia juga menemukan Kenzo yang sedang bergurau dengan anak laki-laki lainnya.

"Lo hari itu hebat banget," puji Leyla.

"Hah? Hari itu? Kapan sih?" tanya Nayya kebingungan.

"Ish, itu! Pas lo buat onar di d---"

"Ralat, bukan gue, ya," sela Nayya.

Leyla menghela napasnya kemudian kembali berucap, "Iya, bukan lo. Tapi si itu. Keren banget lo bisa buat heboh kaya gitu."

Nayya tertawa terbahak-bahak. Ia tak menyangka ada sosok yang memujinya hanya karena peristiwa beberapa hari yang lalu. Lagipula, itu menurutnya hal yang sudah biasa dan sering dilakukannya dulu, hanya saja berbeda tempat, situasi, dan perasaan.

"Tapi lo keren banget, Nay. Tapi endingnya agak ngeselin sih," sahut Gladys berapi-api. Ia sangat bersemangat jika disuruh membahasa hal-hal keperempuanan seperti ini.

"Biasa aja," balas Nayya.

Gladys dan Leyla mendecak bersamaan. Mereka paling malas jika Nayya sedang dalam fase tidak mau dipuji. Padahal biasanya Nayya sangat suka bila dipuji. Mungkin, Nayya sudah berubah juga.

"Guys, ke kantin yuk, gue laper," ajak Leyla. Ia menarik paksa tangan Nayya dan Gladys untuk ikut bersamanya.

Tanpa disengaja, beberapa anak yang tadinya berkumpul di ruang itu berjalan mengikuti Leyla yang seakan-akan memimpin barisan itu. Mungkin, mereka juga merasakan hal yang sama dengan Leyla yaiu lapar atau hanya ikut-ikutan saja seperti biasanya.

"Ken, Nay, kalian kok putus sih?" celetuk Sia. "Padahal kal---"

Nayya membekap mulut Sia dan memelototkan matanya seakan mengisyaratkan Sia untuk berhenti berbicara dan tidak melanjutkan ucapannya. Ia benar-benar malas dan terluka jika mengingat Kenzo yang pernah ada.

"Gue cuma tanya aja kali, Nay," ucap Sia sambil menoel lengan Nayya. Benar, ia menggodanya.

Nayya menggeram. "Ish, bisa diem nggak sih?!"

Bukannya takut dan diam, mereka malah semakin melunjak. Mereka tertawa terbahak-bahak ketika Nayya mulai meluap-luap. Hal yang paling mereka suka adalah menggoda seseorang hingga badmood.

"Ululu, ngambek ya, Nay?" goda Sia.

"Enggak!"

Nayya mengerucutkan mulutnya. Selain menemukan ketenangan, di ruang ekskul alias bersama anak ekskul juga menemukan kesengsaraan seperti saat ini. dahulu saja, ia selalu digoda kapan jadian dengan Kenzo. Sekarang, malah ditanya kenapa putus.

"Manusia tuh emang nggak pernah puas, ya?" tanya Nayya sembari menyeruput minumannya pelan.

"Iya juga, ya," ucap Leyla dan memikirkan kebenaran akan hal tersebut. "Bener juga."

Sontak mereka yang ada di meja itu berpikir, mengapa manusia tidak pernah merasa puas? Apakah itu memang bawaan dari Tuhan? Atau memang sifat manusia yang seperti itu? Lantas, mengapa?

"Ya pada dasarnya emang gitu, guys. Manusia emang nggak pernah puas. Dulunya minta ini, setelah dikasih minta lagi itu, minta lagi yang lain. Terus aja gitu," beber Nayya dan memainkan sedotannya. Ia membeberkan hal tersebut karena ia telah membaca semua pikiran teman-temannya.

Iya, membaca pikiran.

***

tbc

Problematika Perempuan [END] Donde viven las historias. Descúbrelo ahora