24 : Ada Apa?

16 4 0
                                    

❕scene dimiringkan = flashback❕

"Selamat kepada Thania yang berhasil menggaet juara satu di perlombaan kemarin," ucap Bu Oppun dengan bangga. Ia bahkan mengelus pelan puncak kepala Thania.


Semua yang berada di kelas bersorak turut bahagia karena prestasi Thania. Tetai tetap saja, Clara menatap Thania dengan segala kebenciannya. Entah apa yang menyebabkan Clara benci dengan Thania.

"Terima kasih semuanya, atas doa dan pujian kalian," ucap Thania dan menundukkan badannya sopan.

Ia berjalan ke arah bangkunya. Ia melewati sosok Nayya yang sekarang sudah berbeda dengan yang dulu. Mungkin, ini juga karenanya. Ah sudahlah, biarlah Nayya menjadi dirinya sendiri dan ia juga mengurus hidupnya sendiri.

Besok adalah hari dimana Nayya lomba fashion show. Awalnya, anak ekskul fashion sempat menyerangnya, tetapi untung saja dijelaskan dengan rinci oleh Bu Herlind. Sehingga tidak menimbulkan kesalah pahaman lagi.

"Nay, lo tuh mentang-mentang pinter ya, semua ekskul lo ambil. Abis ini ekskul apa lagi yang lo ambil?!" teriak Hani, salah satu anggota ekskul fashion.

Nayya terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dirinya mengikuti lomba ini hanya semata-mata tunduk pada wakil kepala sekolah saja, Ibunda. Dirinya tidak pernah menguasai ekstrakulikuler lain.

Ia bimbang dan bingung. Sorak sorai menggema di telinganya. Semua memcacinya, tiada siapapun yang mau membelanya. Ia bisa saja berbicara dan menentang semua omongan itu, tetapi lidahnya kelu. Tidak bisa berbicara.

Sehingga datanglah sosok pahlawan kesiangan. Ah, klise. Naufal datang dan berusaha meluruskan salah paham ini. Namun, apa yang terjadi? Para anggota ekskul fashion tetap tidak terima jika Nayya harus mewakili lomba ini.

Lagipula, Naufal salah menjelaskan. Dari segi pemikiran Nayya, Naufal seakan-akan malah membela Nayya dan menyalahkan mereka semua. Hal itu semakin memicu mereka untuk mencaci Nayya.

Menangis? Hampir saja. Nayya kan anak cengeng. Ia paling tidak bisa dicaci seperti ini, terlebih lagi dengan kakak kelas dan seseorang yang tidak terlalu dikenalnya. Lalu ia harus apa?

"Gue nggak berusaha ngambil ekskul lain, gue di sini cuma atas suruhan Bunda," terang Nayya pelan, takut jika massa di depannya semakin memberontak.

"Oh! Anak emasnya Bunda, ya? Pantes aja! Gue dari dulu nggak pernah tuh disapa Bunda, ternyata dia punya anak emas, toh," ucap Kanes menimpali ucapan Nayya.

Salah lagi, batin Nayya. Ia harus apa? Mana mungkin ia mundur ketika lomba sudah ada di depan mata. Ia tidak mungkin mundur dari perlombaan ini. sangat tidak mungkin. Selain akan mengecewakan sekolah, ia juga akan mengecewakan perasaan Ibunda.

Suara ketukan sepatu datang dan membuat mereka semua terdiam. Siapakah dia? Bu Herlind, ya, Bu Herlind. Ia datang atas laporan salah satu siswa yang melihat kejadian ini.

"Kalian ada apa? Ada masalah apa dengan Nayya?" tanya Bu Herlind pelan.

Diam, itulah satu kata yang mampu menggambarkan keadaan di sana. Tiada satu pun anak yang mau mengucapkan atau menjelaskan kejadian ini. Mana seseorang yang mencaci Nayya tadi? Berani kah ia berteriak di depan Bu Herlind?

"Saya tadi mendengar suara Hani dan Kanes, kalian berdua maju ke hadapan saya," pinta Bu Herlind, pelan tetapi kejam dan memaksa.

"Iya, Bu."

"Nayya ... mengikuti lomba ini karena suruhan Ibunda. Bukan Ibunda menganak emaskan dia, tetapi dari ekskul ini memang tidak ada yang maju menjadi perwakilan sekolah ini. Saya bertanya, kenapa dari kalian tidak mau ikut, lalu setelah ada yang menggantikan kalian tidak setuju? Apakah kalian semua mau menggantikan posisi Nayya sekarang?"

Sontak mereka semua menggeleng pelan. Nayya hanya diam tidak tahu harus berbuat apa. Canggung sekali rasanya. Dibela, tetapi ia merasa bersalah juga. Apakah ini yang dinamakan terlalu baik? Biarlah Nayya menjadi sosok yang terlalu baik, bukan terlalu cantik.

"Terima kasih, Bu Herlind."

__

Nayya berjalan cepat ke arah ruang ekskul fashion show. Dirinya bisa saja terlambat jika berjalan santai. Ia harus menormalkan pikiran dan perasaannya. Jantungnya sedari tadi berdegup lebih cepat dari biasanya.

"Oh, Tuhan, aku harus bagaimana?"

Sesampainya di sana, Nayya disambut oleh dua orang yang bertanggungjawab sebagai perias di lomba ini. Nayya menengok ke arah sampingnya, ia menemukan sosok Naufal yang sudah duduk santai sambil dirias oleh kedua wanita lain.

Ah, dirinya bodoh sekali. Mengapa ia bisa terlambat sepuluh menit hari ini? semua ini karena drama Korea. Ia menyesal karena menonton drama sebelum tidur, alhasil jam tidurnya molor dan ia bangun kesiangan.

Setelah mukanya dirias, ia mendekati Naufal yang sedang memakan sekotak nasi. Dirinya sempat berpikir, apakah Naufal tidak sarapan terlebih dahulu pagi ini? Sedisiplinkan dia sampai melewatkan sarapannya demi datang pagi?

"Kak, tadi nggak sarapan?" tanya Nayya basa-basi. Ah, bukan basa-basi, ia memang kepo akan hal ini.

"Udah, tadi, tapi laper," sahut Naufal tanpa melihat lawan bicaranya dan tetap fokus dengan kotak nasi yang ada di pangkuannya. "Ketimbang laper pas acara."

Nayya menelan ludahnya paksa. Apa? Naufal sudah makan dua kali pagi ini? terbuat dari apakah perut Naufal? Nayya saja yang hanya sarapan roti dengan susu masih kenyang sampai sekarang.

Mereka datang ke tempat perlombaan bersama Bu Herlind dan dua guru lainnya. Dari Jaindu, hanya mereka yang menjadi perwakilannya. Secara tidak langsung, mereka harus membuat bangga sekolah ini.

Mereka berdua tampil di panggung megah itu dengan penuh wibawa dan kehormatan. Tanpa menurunkan harga dirinya, mereka harus bersikap layaknya orang sombong di depan para juri. Senyum natural, jalan di depan kaki sebelumnya, yap, Nayya berhasil melakukan itu.

Ia turun dari panggung dan segera menemui Bu Herlind untuk meminta minum. Cukup sudah beban yang dibawanya. Bajunya memang tidak berat, aksesorinya memang tidak berat, tetapi ia lebih memilih memakai baju berat dan hanya berfoto daripada memakai baju ringan tetapi berjalan dan melenggak-lenggok.

Juara favorit, itulah gelar yang didapatkan Nayya dan Naufal di lomba ini. Ya, mereka berhasil memikat para juri untuk menjadikan mereka juara favorit. Secara tidak langsung, mereka berdua adalah pasangan paling favorit menurut para juri.

Pulang dengan bangga, itulah rutinitas Nayya selama mengikuti perlombaan. Selama ia membawa pulang piala, ia tidak malu untuk kembali ke sekolah. Ia bangga, sangat bangga bisa masuk di sekolah ini.

__

"Bu, tapi saya hari itu tidak bisa," tolak Thania halus.

"Than, Ibu kasih tahu, ya. Seberapa penting Clara di hidup kamu? Apakah dia sudah memberimu timbal balik? Apakah ia sudah berbuat baik kepadamu?" tanya Bu Hana pelan, takut jika Thania tersinggung.

Thania hanya terdiam sambil memikirkan pertanyaan dari Bu Hana. Jika dipikir, sepertinya Clara sudah berbuat baik kepadanya, tetapi presentasenya hanya sedikit. Jika timbal balik, mungkin Clara juga sudah pernah melakukannya.

"Berteman itu boleh, Than, bersahabat itu juga boleh. Tetapi, jangan sampai mereka merusak masa depan kamu. Jika bakat minat kamu ada di bidang ini, sudah 80% masa depan kamu ada di bidang ini juga.

Demi mendapat masa depan itu, kamu harus meniti jalannya. Dengan apa? Dengan mengikuti lomba seperti ini. Lomba yang bisa membuktikan ke khalayak umum kalau kamu itu mampu di bakat dan minat kamu," jelas Bu Hana.

***

Problematika Perempuan [END] Where stories live. Discover now