1 : Dia Nayya

181 37 29
                                    

“Thania! Tungguin!” teriak Nayya berusaha berlari dan menyamakan langkah kakinya dengan Thania.

Thania menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Ia menemukan sosok Nayya yang berlari di belakangnya. Ia mengulas senyumnya dan berhenti sejenak menunggu Nayya. Mereka berjalan bersamaan menuju kelas.

“Lo udah ngerjain pe-er Matematika kemarin?” tanya Thania. Nayya menggeleng perlahan.

Raut muka Nayya sama sekali tidak menunjukkan sisi takut akan dimarahi guru legendaris mereka, Bu Oppun. Ia bahkan bersenandung ria sambil memainkan kancing blazer-nya. Ia memang jarang mengerjakan pe-er dari Bu Oppun, karena pada dasarnya pe-er itu tidak dinilai, hanya untuk bahan evaluasi, dan Nayya sudah paham dengan materinya.

“Iya deh, serah lo, orang pinter mah beda,” sindir Thania.

“Jelas,” ucap Nayya sambil mengibaskan rambutnya. Mereka berdua kemudian tertawa bersama.

Di depan kelas, mereka langsung disambut oleh Clara, personil terakhir dari persahabatan mereka. Mereka sudah bersama sejak lama dan sangat tidak mungkin jika berpisah. Mereka saling membutuhkan satu sama lain, sehingga sangat sulit untuk berpisah.

“Nay, ajarin pe-er matemetikanya dong, gue kan belum paham,” pinta Clara.

Nayya mengangguk dan berjalan membuntuti Clara yang berjalan ke arah mejanya untuk memperlihatkan bukunya. Dengan baik hati Nayya menjelaskan sedikit demi sedikit cara untuk menemukan jawaban dari soal yang diperlihatkan Clara kepadanya.

“Lo emang the best,” puji Clara sambil mengacungkan kedua jempolnya pada Nayya. Sedangkan Nayya hanya tersenyum simpul dan kembali duduk ke bangkunya sendiri.

Tempat duduk mereka memang tidak dekat, bahkan Thania duduk di barisan paling depan. Di kelas ini, mereka tidak bisa seenaknya memilih tempat duduk. Selama satu minggu sekali, duduk mereka akan dioper tergantung nomor lotre yang mereka dapatkan.

Bukan ingin memisahkan semua yang sudah bersahabat tetapi, dengan tempat duduk yang selalu digilir seperti ini mereka tidak hanya dekat dengan kubunya sendiri, mereka juga bisa mengobrol dengan teman lainnya.

“Nay, Than, nanti ke rumah gue, ya?”
Dengan spontan Nayya dan Thania mengangguk. Seperti biasa, mereka akan mendalami materi hari ini dan juga ngerumpi bersama. Atau jika tidak mereka akan jalan-jalan dan mencoba-coba outlet makanan yang baru saja buka.

Tidak lama setelah sampai di rumah, Nayya segera berpamitan dan meluncur ke rumah Thania untuk berangkat bersama. Tanpa menunggu lama lagi, mereka berangkat ke rumah Clara yang tidak jauh dari rumah Thania.

Rumah Clara adalah bagaikan basecamp bagi mereka. Tak hanya luas, tetapi juga lengkap fasilitasnya. Hal itu membuat mereka paling betah jika bermain ke rumah Clara.

“Cepetan masuk, gue masih bingung sama---“

“Fisika,” sela Nayya dan segera masuk ke dalam rumah Clara tanpa permisi. Bukan lancang atau tidak sopan, tetapi mereka memang sudah terbiasa seperti ini.

“Duh, peka banget sih kamu,” puji Clara sambil menjunjung perasaan Nayya supaya sang pemilik perasaan bisa memiliki banyak mood dan mau mengajarinya materi fisika.

Mereka bertiga duduk melingkar dan masing-masing membawa bukunya. Nayya membuka buku paket milik Clara dan mencari subbab yang belum Clara dan Thania pahami.

“Jadi, kalau sudut istimewa kaya gini tinggal diapalin aja,” ucap Nayya sambil membalik buku yang awalnya menghadap dirinya menjadi menghadap Clara dan Thania. “Kalau sudut lainnya ... ya harus ngitung dulu.”

Problematika Perempuan [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang