9 : Riuh

23 10 1
                                    

Nayya berjalan tergesa-gesa menuju kelas. Seumur hidup, ia baru pertama kali kelupaan mengerjakan pe-er dari Bu Oppun, walau itu tidak wajib. Ia bergegas menuju kelas dan mengerjakan pe-ernya dadakan.

"Fyuh." Nayya duduk di bangkunya, mengeluarkan buku Matematikanya, dan mulai mengerjakan pe-er Matematikanya.

Kegundahannya bertambah ketika Clara dan Thania memasuki kelas bersamaan. Nayya hanya takut jika mereka berdua mengetahui kabar hubungannya dengan Kenzo yang sudah putus. Tetapi, di satu sisi ia juga sedikit senang karena ia berharap jika mereka berdua mau bersahabat dengan Nayya lagi.

"Hai, Nay," sapa Clara dan melewati Nayya.

Kesambet apa dia? Mana mungkin Clara yang sekarang jutek mau menyapa Nayya. Bukankah suaranya sangat mahal sekarang? Cih. Nayya hanya mengulas senyumnya singkat.

"Disapa mal---"

"Hai juga, Clara," sela Nayya dengan nada yang suram.

Clara hanya menanggapi selaan Nayya dengan kekehan ringan. Ia duduk dan mulai mengganggu Nayya sebagaimana rutinitasnya. Nayya yang duduk di depannya tampak mulai kesal karena aksi dari Clara.

"Ra, bukannya lo hari ini duduk di sebelah sana?!" tanya Nayya geram.

Sontak teman-teman sekelas Nayya langsung menatap Clara yang hari ini salah bangku. Clara menatap sebal ke arah Nayya yang sudah memalukannya. Awas saja, batinnya kesal.

Nayya mengendikkan bahunya seolah ia tidak mengurusi apa yang Clara ucapkan. Ia melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Ia berusaha mengerjakan setenang mungkin walau Clara mulai membuat onar di pojokan kelas.

Clara tampak adu mulut dengan Frisya. Mereka saling membantah dan berdebat. Inilah masalah terbesar perempuan, tidak akan bisa selesai jika salah satunya belum hilang dari dunia.

"Ra, lo itu yang salah, kok elo malah nyalahin Nayya?" tanya Frisya dengan nada tak suka.

"Sejak kapan gue salah?" tanya Clara kesal.

"Lo nggak inget kalau tempat duduk selalu dioper?" tanya Frisya lagi. "Makanya, punya indera itu dipake, bukan disimpen," lanjutnya.

Nayya tersenyum dengan ucapan Frisya. Makan tuh omongan, batin Nayya senang. Ia tidak ikut andil dalam percekcokan itu, meski melibatkannya. Ia hanya diam dan menunggu waktu yang tepat untuk beradu mulut dengan Clara.

Pelajaran berlangsung cukup singkat. Guru yang bersangkutan sudah keluar dan Nayya ikut melangkahkan kaki hendak pergi ke kantin. Tanpa Nayya ketahui, Clara dan Thania membuntutinya dan menyusun rencana.

Saat sampai di depan kantin, dimana banyak orang yang berlalu lalang. Clara dan Thania mulai mengambil napas mereka dan bersiap melaksanakan rencana mereka.

"Eits, yang udah putus nih, gimana? Udah puas pacaran sama Kenzo?!" tanya Thania ketika mereka bertiga sampai di kantin.

Seketika Nayya membalikkan tubuhnya. Ingin sekali ia memakan mentah-mentah dua manusia yang berada di depannya. Jujur saja ia tidak malu walau Thania berteriak di depan orang banyak. Ia hanya kesal.

"Coba diulangi!" ucap Nayya sambil mengangkat dagunya.

"Udah puas pacaran sama Kenzo?" ulang Thania dengan nada yang lebih keras.

Nayya tersenyum singkat dan berjalan melewati mereka berdua. "Pinter ya anak buahku, nurut sama bosnya," ucapnya sambil mengacak pelan puncak kepala Thania dan Clara.

Nayya kembali ke kelas setelah semua orang yang ada di kantin ricuh karena omongannya. Biarlah, ia sudah malas dengan keadaan yang semakin hari semakin kejam. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah ketenangan.

"Sok-sokan banget sih lo, udah seneng ya malu-maluin kita di depan semua siswa?" tanya Clara sambil mencegat Nayya.

Nayya mendecak. "Semua siswa? Lo jangan hiperbola deh, buktinya ada anak tuh yang duduk di kelas," bantah Nayya sambil menunjuk salah satu anak yang duduk di kelasnya.

Clara menggeram tertahan. Lama-lama ia bisa darah tinggi hanya karena meladeni Nayya yang semakin hari semakin melonjak. Bisa-bisanya Nayya membantah ucapannya. Apakah ia tidak tahu ia siapa?

"Emangnya lo siapa?" tanya Nayya sambil mengangkat dagunya sombong.

Clara tercekat. Apa? Apakah Nayya bisa membaca pikirannya? "Gue? gue manusia lah. Emangnya kaya lo, monyet."

"Gue monyet?" tanya Nayya kemudian tertawa. "Tubuh kita sama, bentuk muka sama, 90 persen sama, berarti lo juga monyet dong," lanjutnya kemudian tertawa lagi.

Beberapa anak yang melihat perdebatan mereka ikut tertawa karena omongan Nayya yang menurut mereka sangat pantas untuk menusuk Clara. Semakin lama semakin banyak anak yang mengerubungi mereka. Hanya sekadar melihat karena ingin tahu.

"Lo mulai berani ya sama kita?" elak Thania.

"Berani dong, dari kecil gue udah dididik sama Mama gue kalau harus berani. Kenapa?!"

Clara maju selangkah mendekati Nayya. Dengan kesombongannya, tangannya maju dan terayun. Telapak tangannya berhenti tepat di depan muka Nayya. "Lo tahu ini apa?"

"Astaga, lo semakin lama semakin ngaco ya, Ra. Jelas-jelas gue tahu lah, itu telapak tangan," jawab Nayya kesal.

Saat tangan Clara mulai memberi gaya tekanan, Nayya minggir ke kanan selangkah dan berakhir dengan tragedi jatuhnya Clara karena tidak tepat sasaran. Siswa lain yang mengerubunginya tampak tertawa dan enggan menolong iblis yang sedang menyamar.

"Kenapa? Lo marah sama gue?" tanya Nayya. "Hello! Gue masih punya mata dan otak, Ra. Dengan mata itu gue bisa melihat dan dengan otak gue bisa mikir harus gimana biar ga jatuh," tambah Nayya.

Siswa lain yang semakin banyak mengerubungi Clara. Di sana, Thania dengan enggannya menolong Clara yang sedang diejek habis-habisan oleh para siswa lainnya. Thania hanya diam mematung tanpa ekspresi dan pergerakan.

Di satu sisi, Nayya kesal dan geram dengan tingkah laku Clara yang semakin hari semakin tidak jelas dan selalu saja mengganggu dirinya. Tetapi, di satu sisi pula, rasa kemanusiaannya berkobar karena tiada siapapun yang menolong Clara untuk berdiri.

Nayya berjongkok kemudian mengulurkan tangannya kepada Clara. Ia mengulas senyumnya dan membantu Clara untuk berdiri. "Gue minta maaf, Ra. Kalau gue nggak minggir tadi yang diketawain gue, bukan lo. Maaf, ya."

Sontak semua siswa yang melihat kejadian tersebut riuh. Mereka terpesona dengan ucapan Nayya. Sosok yang bisa julid, tetapi lebih mementingkan rasa kemanusiaannya. Kapan lagi ada orang seperti ini? Orang yang mau membantu lawannya untuk bangkit.

Clara berdiri masih dengan tampang kesombongannya. Bahkan ia mengelap tangan yang baru saja bersentuhan dengan Nayya menggunakan roknya. Seburuk itukah Nayya di matanya? Sampai Nayya dianggapnya seperi virus.

"Makasih," ucap Clara dingin.

Nayya melirik sosok Thania yang masih berdiri di tempatnya. Apakah ia tidak berselera untuk membantu sosok sahabatnya? Apakah ia sudah enggan bersahabat dengan sosok munafik seperti Clara?

"Sama-sama," balas Nayya kemudian tersenyum.

"Harusnya lo mikir, lebih bagus lagi kalau lo yang jatuh dan nggak ada yang nolongin. Pertolongan lo nggak bakal ngeluluhin hati gue untuk nerima lo sebagai sahabat gue lagi," maki Clara sambil membersihkan rok bagian belakangnya.

***

Problematika Perempuan [END] Where stories live. Discover now