13 : Inilah Thania

22 6 0
                                    

Clara berjalan mendekati Thania yang masih enggan untuk meninggalkan kelas. Dirinya merasa tidak memiliki teman setelah Thania menjauhinya. Hal ini tidak boleh terjadi, setidaknya ada satu orang yang mendukungnya.

"Than," panggilnya dengan nada tidak tinggi supaya Thania tidak berprasangka buruk.

"Kenapa?" tanya Thania dan meletakkan kacamatanya di meja.

"Lo besok duduk sama gue aja, biar Frisya yang duduk di sini. Gue ogah banget duduk sama dia, ngoceh mulu," ujar Clara dengan mata penuh permohonan.

Thania tampak menimbang-nimbang keputusannya. Ia ragu, apalagi setelah mengingat Nayya yang mungkin sekarang sudah bahagia sendiri. Matanya menatap lurus ke depan, dimana ujung tembok paling selatan adalah kantin.

Benar saja, ia melihat Nayya bersama teman satu ekskulnya sedang tertawa bahagia bersama. Iya, Thania bisa menerawang apa yang sedang berlangsung di ujung sana. Sekalipun terhalang tembok, ia tetap bisa melihat apa yang dilakukan Nayya.

Ia rasa, ia sudah tidak dibutuhkan lagi. Temannya kini tinggal satu, Clara. Itu pun jika Thania mau berteman dengannya. jika tidak bersama Clara, ia akan berteman dengan siapa lagi? Bukankah akan lebih sulit?

Thania mengangguk pelan. "Oke." Jika ia tidak menyanggupi permintaan Clara, ia akan kesepian karena sendiri dan juga Clara akan memeranginya.

Jika diingat, Thania benar-benar rindu dengan seseorang yang mungkin sekarang sudah mengecapnya sebagai mantan sahabat, yaitu Nayya. Ia memang sedari dahulu menemani Thania kemanapun Thania pergi. Sekarang?

Bisa jadi Nayya tidak mau bersahabat lagi dengan Thania karena Thania memilih Clara, bisa juga karena Nayya sudah mendapat gantinya. Lagipula, selagi Nayya bahagia, ia boleh melakukan hal yang ia suka dan kehendaki bukan?

"Simpel," batin Thania.

Mereka berdua berjalan menuju ke kantin. Awalnya Thania enggan karena harus berpapasan dengan Nayya nantinya tetapi, jika ia tidak ke kantin ia akan kelaparan 'kan? Sebaiknya, gengsinya disembunyikan untuk beberapa saat.

"Than, nanti nyobain kafe yang baru buka yuk," ajak Clara. "Sebelahnya toko baju."

Thania mengangguk pelan menyetujui ajakan Clara. Mereka berdua memasuki halaman kantin dengan sambutan beberapa pasang mata yang menatap aneh kepada mereka. Mungkin karena peristiwa beberapa hari yang lalu.

Clara sengaja melewati meja tempat Nayya dan rombongannya duduk. Entah mengapa ia senang saja bisa memancing emosi seseorang. Ia harap Nayya akan terpancing emosi dan ia akan membalas dendam pada Nayya.

"Hai, Nay. Udah punya temen bau, ya?" tanya Clara sok asik.

Leyla dan kawan-kawan auto memandang aneh pada Clara. Apakah ada orang yang sok dekat seperti ini setelah putusnya hubungan. Sia memeragakan gerakan muntah ketika mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Clara.

"Jelas!" jawab Nayya lantang. Ia tidak malu, tetapi mempermalukan seorng Clara.

Clara mendecak. Sepertinya rencananya akan gagal. "Udah lup---"

"Masa lalu emang harus dilupain. Udah, pergi sana lo! Gue nggak suka ada orang munafik datang di hadapan gue lagi!" pekik Nayya.

Otomatis para siswa yang tadinya fokus pada kegiatan mereka menolehkan kepala mereka ke arah Nayya dan Clara. Tentu saja Clara lebih menarik perhatian karena ia sedang berdiri, sedangkan Nayya sedang duduk dan sedikit tertutupi oleh Gladys dan Sia.

Nayya mengangkat kedua alisnya singkat dan tersenyum menyeringai. Seakan ia bertanya, apakah sudah puas? Rencananya berhasil bukan? Membuat malu seseorang yang hendak mempermalukannya. Itu hal gampang bagi Nayya. Kecil.

"Lo kebangeten, Nay! Nggak mikirin perasaan Clara!" sambung Thania yang awalnya hanya diam.

Nayya tersenyum kembali kemudian ia berdiri dari duduknya. "Semua siswa yang ada di kantin tahu siapa yang nggak mikirin perasaan," jawabnya pelan.

Nayya hanya berbicara sesuai logika dan kebenaran saja. Tidak menambahi tidak juga mengurangi. Perkataannya adalah real seperti apa yang ia alami. Biarkan Clara dan Thania menanggung malu mereka di sana.

"Udah, Nay. Ngomong sama orang nggak berperasaan emang beda," bujuk Gladys dan menarik tubuh Nayya supaya kembali duduk.

Emosi Clara langsung tersulut ketika Gladys mengucapkan sesuatu yang membuat hatinya terluka. Menurutnya, Gladys terlalu berlebihan ketika mengucapkan sesuatu, lebih baik difilter dahulu.

"Omongan lo dijaga!" ucap Clara sambil menuding Gladys.

"Sebaiknya omongan lo yang dijaga, omongan lo perlu difilter, biar nggak keluar sesuka emosi lo. Gue tadi udah bilang, lo pergi, kok ngeyel. Ya udah, dapetnya kaya gini, apa? Sakit hati," sahut Nayya sambil menyuapkan batagor ke mulutnya.

Clara memicingkan matanya dan pergi dari meja mereka. Dengan penuh rasa malu dan penyesalan, Clara pergi ke kelas bersama Thania. Harga dirinya mungkin sudah tidak dihargai lagi setelah Nayya mengucapkan hal itu kepadanya.

Apakah rasa sakit seperti ini yang Nayya rasakan ketika ia mengatainya? Jika iya, bukankah Nayya terlalu kuat menopang penyakit hatinya sendiri? Ah tidak, ia tidak boleh merasa kasihan terhadap Nayya. Musuh tetaplah musuh. Tiada kata sahabat di dalam kamus Clara.

Clara berdiam diri di kelas sendirian, Thania pergi ke kantin dengan alasan membeli makanan. Apaka ia tidak malu? Ah, biarlah, toh juga bukan urusannya. Yang terpenting adalah dirinya aman dan rasa malunya sudah terkendali.

"Pusing, anj*r," batin Thania. Ia melewatkan sarapannya tadi, padahal ia tipe orang bertekanan darah rendah.

Matanya semakin buran ketika ia melangkahkan kaki menuju halaman kantin. Tubuhnya linglung ketika hendak menaiki satu anak tangga di sana. Pandangannya menghitam, tubuhnya terasa melayang, dan ...

"Bruk!" Teriakan demi teriakan bersahut-sahutan ketika Thania jatuh.

Nayya yang masih duduk di sana segera berdiri dan menyuruh Kenzo dan Raif untuk berdiri menolong Thania. "Angkat dia!"

Kenzo dan Raif otomatis berdiri dan berusaha membopong Thania untuk diantar ke UKS atas perintah Nayya. Kenzo sempat terpana dengan Thania ketika ia membopongnya. Ah, sudahlah.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Nayya dari ujung tirai setelah Thania siuman dari pingsannya.

Thania tersenyum kikuk ketika melihat Nayya and the geng mengerubunginya. Ia mengangguk pelan dan menyahut, "Nggak apa-apa kok."

"Nggak papa dari Hongko---"

Nayya membekap mulut Sia yang hendak mencerocos tak tahu arah. Ia lebih baik mengehentikan sebelum Thania sakit hati karena perkataan Sia lebih tajam daripada duri mawar.

Kenzo terdiam di pojok kamar UKS. Apa yang telah ia lakukan tadi? Membopong Thania? Apakah rasa cintanya terhadap Nayya sudah berpindah ke lain hati? Tetapi, mengapa bisa?

"Sesuai riset, orang akan jatuh cin---"

Kini, Nayya lah yang dibekap oleh Kenzo. Kenzo lupa jika Nayya bisa membaca pikiran seseorang yang ada di sekitarnya. Sepertinya ini adalah hal yang berbahaya. Tetapi, apakah yang tadi benar-benar Kenzo rasakan?

Nayya menatap mata Kenzo lekat-lekat. Rupanya, sosok lelaki yang manja di depannya sudah memiliki hati yang baru. Bukannya ia tidak percaya, bukannya ia tidak rela, tetapi mengapa harus Thania?

***

tbc loppp

Problematika Perempuan [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang