Chapter 44 : Secret Emotions

Start from the beginning
                                    

"Cukup, Ma!" Gumam Axel lirih. Alih-alih memegangi pipinya yang baru saja ditampar, Axel malah memegang dadanya yang terasa sakit akibat ucapan Haida. Axel berusaha mengubur semua kenangan buruk itu, namun nyatanya dia tidak bisa. Rasa bersalah akan dibawa sampai mati.

Dengan tubuh yang masih bergetar, Axel menarik Haida ke dalam pelukannya. Haida menangis semakin histeris dan Axel berusaha menyembunyikan tangisannya agar tidak bersuara. Dia meraih kedua tangan Haida, berniat mengecupnya secara bergatian. Namun, warna kebiruan yang terlihat di punggung tangan Haida membuat tubuh Axel kembali kaku. Kemarahannya yang berhasil dia redam mendadak kembali.

"Apa yang dia lakukan padamu?"

"Oh ini..—Mama mendapatkan luka ini saat memasak. Mama terkena panci panas."

"Jangan berbohong! Apa yang dia lakukan padamu?!" Pekik Axel sedikit meninggi.

Haida menunduk, tampak ragu-ragu untuk berbicara. "Papa menginjak ponsel yang ada di tangan Mama. Sebenarnya Papa tidak berniat untuk melukai..—"

"Berhenti membela bajingan itu!" Sentaknya. Axel megerang kesal untuk menahan diri. Dia menghusap punggung tangan Mamanya yang terluka dan mengecupnya berkali-kali sebagai pengalihan. "Sekali lagi aku melihat Mama terluka karena perbuatannya, aku tidak akan tinggal diam lagi. Aku bersumpah!"

"Malam ini Mama boleh menginap disini lagi ya?" Haida menghusap pipi Axel yang baru saja dia tampar. Rasa bersalah begitu kental pada sorot matanya. Axel menggangguk, Haida langsung mencium pipinya untuk menebus rasa bersalah. "Temani Mama hingga tidur ya, sayang?"

"Ya, Ma. Kau butuh istirahat untuk menenangkan pikiran. Ayo."

Oh, akhirnya. Angel menghela napas panjang. Lega rasanya melihat pertengakaran itu telah berakhir. Angel mendudukan dirinya di sofa setelah Axel dan Haida masuk ke dalam kamar. Air yang semula ingin dia berikannya kepada Haida akhirnya dia tegak sendiri. Haus juga ya, padahal dia hanya menonton.

Isi percakapan antar keduanya masih terekam jelas di kepala Angel. Semua itu membuat adanya tanda tanya besar yang membuat Angel merasa tidak berguna sebagai seorang pacar. Dari apa yang dia coba cari tahu, itu tidak berarti apa-apa dibandingkan cerita mengejutkan yang Angel dengar mengenai alasan mengapa hubungan Axel dan Papanya buruk hingga Axel memilih kabur dari rumah. Yah, melalahkan karena terlalu banyak rahasia yang Axel sembunyikan darinya.

Angel berjalan gontai menuju kamar tidur yang pintunya tidak tertutup rapat. Dia terdiam di ambang pintu dengan kedua tangan terlipat, melihat Axel memeluk Haida yang tertidur di pundaknya, suasana hati Angel mendadak hangat. Pacarnya memang penyayang, sekalipun Haida sudah menamparnya namun Axel membalas perlakuan itu dengan kebaikan. Axel bangkit setelah meletakan kepala Haida di atas bantal. Wanita itu sudah tertidur lelap. Lantas, Axel menarik selimut dan memberi kecupan panjang di keningnya.

"Selamat tidur, Mama. Aku mencintaimu."

Ketika mendongakan kepala, Axel baru menyadari kehadiran Angel disana. Raut wajah Axel kembali berubah, yang semula tenang kini tampak kembali murung. Dia berjalan menuju Angel yang sudah membuka kedua tangannya menyambut sebuah pelukan. Axel tidak sekuat apa yang dia tunjukan di depan Haida. Nyatanya ucapan Haida sudah membangkitkan luka lama yang berusaha dia lupakan selama ini.

"Aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh."

Axel bergumam berulang kali. Seolah dia ingin menyakinkan dirinya sendiri jika dia tidak bersalah. Angel menangkup wajah Axel dan untuk pertama kali, Angel melihat Axel meneteskan air mata di depannya. Mustalih, namun itu benar-benar terjadi. Mata Axel yang memerahan dan cairan yang tak henti mengalir di pipinya jelas membuktikan jika Axel adalah manusia biasa yang bisa menangis ketika tidak bisa menahan rasa sakit. Dia tidak sekuat itu menanggung bebannya seorang diri.

Don't Call Me AngelWhere stories live. Discover now