Chapter 40 : Tell A Lie

6K 449 424
                                    

Duduk berdua bersama seorang Abraham Falkner selalu menjadi hal menegangkan bagi Axel. Teruntuk kali ini, Abraham sedang tidak dalam emosi yang stabil. Pria paruh baya yang masih tampan dan gagah itu masih diam, dengan deru napas keras yang bisa Axel dengar dengan jarak berseberangan.

"Kau benar. Tidak seharusnya aku menampar Angel sebesar apapun kesalahan yang dia perbuat."

Axel merikleskan posisi duduknya setelah Abraham mulai menyadari kesalahannya. "Angel tidak pernah berprilaku diluar batas. Dia gadis yang baik. Sifatnya yang terkadang menjengkelkan hanya bentuk mencari perhatian orang di sekitarnya. Dia ingin diperhatikan, dipedulikan."

"Kau tampak sangat mengenal Putriku. Apa kalian begitu dekat?"

Ya, Putrimu adalah kekasihku. Ingin rasanya Axel menjawab demikian namun dia tahu ini bukanlah waktu yang tepat, kendati Abraham sepertinya tidak menaruh curiga yang besar pada dirinya.

"Kau adalah orang yang membuat kami dekat, Sir. Menjaga Angel hampir setengah tahun tentu membuatku sangat mengenalinya."

"Dan dia mengancam akan membenciku seumur hidup jika aku menyakitimu. Bukankah itu terdengar berlebihan? Dia seperti sedang melindungi pujaan hatinya."

Ya, aku memang pujaan hati Putrimu. Lagi-lagi Axel mengeram saat dia tidak bisa mengatakan hal itu. Dia hanya tersenyum, tidak membantah.

"Apa kau mengijinkan aku mengeluarkan pendapat, Sir?"

"Tentu. Silahkan."

"Jovie bukan pria baik untuk Angel." Ungkapnya. Abraham mengerutkan kening, tampak tertarik dengan ungkapan Axel. "Aku mengatakan ini semua berdasarkan bukti. Jika aku mengatakan Jovie adalah pria bajingan yang gemar bermain perempuan, itu mungkin hal biasa bagimu. Kau juga seorang pria. Tapi berada di dekat Jovie akan membuat Angel terancam. Jovie sudah memiliki tunangan dan dua hari yang lalu tunangannya menyerang Angel dengan sebuah pistol karena maaf—pernyataanmu di media menggiring asumsi publik bahwa Jovie memang memiliki hubungan spesial dengan Angel."

Axel membuka jaketnya, dia menarik kaus pada bagian kerahnya untuk memperlihatkan jahitan di pundak kanannya yang masih belum mengering. "Ini adalah bukti! Jika saja aku terlambat datang, peluru itu akan mengenai Angel."

Abraham menghusap wajahnya, guratan kemarahan kembali terlihat. "Beritahu aku perempuan yang berniat mencekali putriku itu, aku akan memberinya hukuman setimpal!"

"Aku rasa tidak perlu diperpanjang. Hidup Angel akan kembali tenang jika kabar burung itu menghilang. Hanya itu."

"Baik. Aku mempercayakan Angel padamu. Jika kau menuntut upah yang lebih besar karena kau harus menerima luka tembakan itu akibat melindungi Putriku, aku akan memberikan berapa pun untukmu, Axel. Kau yang terbaik sejauh ini."

Axel hanya membalas dengan senyuman. Berbeda dengan dulu, saat ini upah tidaklah penting baginya. Menjaga Angel bukan sekedar tanggung jawab, itu adalah kewajibannya sebagai seorang pria yang akan selalu melindungi gadisnya.

"Dan satu lagi, apa kau tahu siapa pria yang dekat dengan Angel belakangan ini? Dia menolak dijodohkan karena sudah memiliki pilihan. Siapa orang itu?"

Susah payah Axel menelan salivanya akibat pertanyaan Abraham. Bolehkah Axel berteriak bahwa dirinya adalah pria beruntung itu? Sayangnya ada terlalu banyak pertimbangan di kepalanya.

"Ini hal privasi, aku tidak memiliki hak. Lebih baik kau tanyakan langsung kepada Angel."

"Apa kau menyukainya, Axel?"

Pertanyaan itu terdengar seperti sebuah sindirian untuk dirinya. Axel menghela napas. Apa sedari tadi dia sangat kentara menganggumi Angel dengan pujian-pujian kecil yang dia lontarkan? Apa sesungguhnya Abraham tahu namum pura-pura bodoh?

Don't Call Me AngelWhere stories live. Discover now