Chapter 40 : Tell A Lie

Start from the beginning
                                    

"Aku akan sangat berbohong jika berkata tidak menyukainya. Semua orang menyukainya."

Abraham tersenyum, tatapannya semakin intens kepada Axel. "Tentu saja. Putriku memang gadis yang sempurna dan dia berhak menemukan pendamping yang setara dengan dirinya. Pria dengan wajah tampan dan baik hati itu relatif. Aku ingin Angel menemukan pria yang bisa memenuhi kebutuhan finansialnya karena selama hidupnya, Angel tidak pernah kekurangan apapun, aku selalu memanjakannya. Itulah alasan mengapa aku sangat selektif memilih pria yang akan menjadi pendampingnya."

Perkataan Abraham seolah melempar Axel pada kenyataan yang dia hadapi saat ini. Kenyataan bahwa dirinya tidak masuk dalam kategori pria yang layak bersama Angel membuat Axel tersenyum miris. Abraham tidak salah hanya caranya yang berlebihan. Terkadang seseorang akan dipandang berharga hanya karena memiliki tahta dan harta dan Axel benci pemikiran kolot Abraham yang mirip sekali dengan Papanya.

***

Angel sedang mengutak-atik ponselnya ketika menuruni anak tangga untuk menemukan nomer seseorang yang sedang dia cari pada kontaknya. Senyum Angel merekah ketika menemukannya, untung dia menyimpan nomer Julio Carter, sahabat karib Axel. Disaat seperti ini, keberadaan pria itu sangat penting untuk Angel. Hanya dia satu-satunya kunci untuk mengetahui siapa seorang Axel Addison yang sesungguhnya. Karena Angel sadar, status pacar tidak cukup membuatnya mengenal Axel dengan baik.

"Halo, dengan Julio Carter, pria tampan sedunia tapi masih jomblo. Ada yang bisa dibantu?" Sapanya membuat Angel geleng-geleng kepala. Demi Tuhan. Julio tidak mabuk kan? Apa efek baru bangun tidur membuat otaknya sedikit bergeser?

"Dengan Angelica Falkner disini. Kau sehat walafiat kan?"

"Kau menganggu tidur...—Wait, What? Angel?!" Nada suaranya meninggi. Pria itu seolah baru sadar dengan siapa dirinya sedang berbicara. Angel bisa membayangkan kedua mata biru Julio langsung terbuka lebar dan mulutnya menganga. "Oh maaf, Angel. Aku baru bangun tidur, aku sedikit mengingau tadi. Ada apa kau menghubungiku? Pagi-pagi pula. Tidak biasanya."

Ketika Angel sudah menapaki kakinya di lantai dasar—tempat dimana Abraham dan Tisha sedang sarapan bersama—langkah kakinya mendadak terhenti. Dia menjauhkan ponselnya tanpa berniat mematikan sambungan teleponnya bersama Julio. Untuk beberapa saat dia tersenyum miris melihat Abraham bisa berperilaku manis pada wanita sialan itu disaat kemarin malam dia hampir menampar Angel, putrinya sendiri. Dasar Papa durhaka!

"Selamat pagi, Angel. Duduklah, kita sarapan bersama. Kami rindu kehadiranmu di meja makan." Tisha menyapanya terlebih dahulu saat melihat kehadiran Angel. Dan Angel tahu kebaikannya hanya omong kosong. Semuanya palsu!

"Aku tidak mau makam racun hanya untuk menghargai orang yang bahkan tidak bisa menghargai kehadiranku di rumah ini." Sindirinya, dia melirik pada Abraham yang kini ikut menoleh padanya. "Tanpa menghilangkan rasa hormatku kepada orang tua yang sangat aku segani, aku ijin berangkat terlebih dahulu."

"ANGEL!" Panggil Abraham sedikit berteriak. Angel menghentikan langkah kakinya tanpa berniat menoleh kebelakang. Angel masih marah pada Abraham. Dan jika Abraham berniat mencari masalah lagi pagi ini, dia tidak akan tinggal diam.

"Kau tidak berhak bicara seperti ini. Minta maaf pada Mamamu!"

Angel memutar tubuhnya, matanya menyiratkan kebencian mendalam. "Bagaimana jika aku tidak mau? Kau berniat menamparku lagi? Silahkan! Kau boleh menjatuhkan harga diriku, Pa. Tapi aku tidak akan pernah menjatuhkan harga diriku pada wanita sialan ini. Dia sudah membuatmu banyak berubah!"

Don't Call Me AngelWhere stories live. Discover now