PROLOG : Im Hyun Sik

198 24 2
                                    

"Tolong muncul di hadapanku, tolong kembali padaku."

•••

Suara alunan lagu yang tenang memenuhi ruangan ini. Malam yang sunyi ini, aku duduk di barisan penonton yang sama-sama menikmati betapa manisnya iringan musik yang tenang dari seorang pianis terkenal.

Senyumku tidak pudar sejak tadi. Wanita dengan gaun putih itu telah menyelesaikan pertunjukannya beberapa saat yang lalu. Semua orang mulai meninggalkan tempat ini, tetapi aku tetap diam duduk di sana. Aku benar-benar seperti orang gila yang selalu tersenyum.

"Hyun Sik-ah."

Aku menoleh begitu dia memanggilku. Pakaiannya sudah berganti. Apa mereka orang yang sama? Dia yang memainkan piano dan dia yang sedang berdiri di hadapanku. Keduanya sama-sama membuatku jatuh cinta.

"Bagaimana penampilanku tadi?" tanyanya. Aku mengusap kepalanya dengan lembut. Dia biasanya tidak suka aku merusak rambutnya tapi kali ini dia tidak protes.

Aku menggenggam tiket kecil di tanganku. Tertulis di sana 'Young Ha Ni' dan lengkap dengan fotonya yang tampak manis.

"Kau tau kan aku selalu menyimpannya?" ujarku. Ha Ni mengangguk pelan.

"Aku sudah menontonnya lebih dari ratusan kali. Biasanya seorang pemusik seperti kita akan mengalami kegoncangan. Entah itu kecelakaan di panggung atau penurunan konsentrasi. Kau luar biasa. Kau tidak pernah mengecewakan semua penontonmu," ujarku tersenyum lagi.

"Im dal dal."

"Mwo? Kau memanggilku apa?" tanyaku.

"Im dal dal. Aku akan memanggilmu seperti itu mulai sekarang," ucapnya.

"Sekarang kau bersikap romantis padaku," ujarku terkekeh pelan.

"Agar kau tidak melirik wanita lain," katanya. Aku menoleh ingin protes.

"Kapan aku melirik wanita lain? Aku pria setia kalau kau tau," protesku.

"Arraseo, Im dal dal," ujar Ha Ni tertawa.

Aku menggandeng tangannya. Ini sudah malam. Aku harus mengantarnya pulang sebelum terlalu larut.

"Di mana mobilmu?" tanyaku. Aku pikir dia membawa mobil, tapi tampaknya tidak.

"Aku ingin jalan. Malam ini tampak indah dari biasanya," ujarnya. Aku mengangguk setuju.

Kepalaku melihat ke langit. Tidak ada bintang atau bulan. Hanya ada awan hitam yang membuat langit sangat gelap. Apa yang indah malam ini? Apa dia hanya ingin berdua denganku sehingga dia membuat alasan seperti itu? Lucu sekali.

"Kapan hari jadi kita?" tanya Ha Ni. Aku mengingat sejenak.

"Di saat hujan turun. Aku sangat ingat kita berada di dekat sungai Han," kataku. Hani mengangguk. Itu adalah momen penting dalam hidupku. Mana mungkin aku melupakannya.

"Hyun Sik-ah, kau tunggu di sini. Aku akan memberikan sesuatu," ujarnya.

Dia berlari menyeberangi jalanan. Aku menunggunya di tepi jalan. Apa yang akan dia lakukan? Secara tiba-tiba pergi.

Gelang buatannya masih melingkar di tangan kiriku. Dia memberikannya saat hari jadi ke-2. Sebetulnya aku bukanlah pria romantis seperti kebanyakan orang, tetapi aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Ha Ni. Dia satu-satunya wanita yang ada di hidupku.

"Im Dal Dal." Aku tersenyum kecil kala mengingatnya. Dia membuat panggilan yang lucu untukku.

BRAKKK

Kepalaku sontak menoleh ke sumber suara. Terdengar sangat jelas ada suara menggelegar di depan lampu merah. Aku segera berlari untuk memastikan apa yang terjadi.

"Ha Ni-ah!!"

Ha Ni terbaring lemah di tengah jalan. Seluruh tubuhnya sudah dipenuhi darah. Bajunya yang terang berubah menjadi gelap.

"Ottokhae! Ha Ni-ah, bangunlah! Hei, kita akan segera ke rumah sakit. Bertahanlah!"

Aku bingung harus melakukan apa. Apa rumah sakit ada yang dekat dari sini? Aku harus membawanya segera.

"Hei, tolong telfon ambulance!" teriakku. Semua orang hanya melihat tanpa melakukan apapun.

Ha Ni menggenggam tanganku. Dia memaksa untuk tersenyum. Ini bukan saatnya untuk melakukan itu. Dia harus tetap bersabar sampai menunggu pertolongan datang. Dia harus bisa selamat.

"Hyun Sik-ah, mian. Jeongmal mianhe."

"Jangan banyak bicara. Kau harus tetap diam," ujarku. Setetes air mata jatuh ke tangannya. Aku baru saja menangis. Aku terlalu takut kehilangannya.

"Lanjutkan mimpiku, Hyun Sik-ah. Kau tau apa yang aku impikan, kan? Berikan itu untukku sebagai hadiah terakhir."

Aku menggeleng. Dia harus melanjutkannya sendiri. Dia harus tetap menjadi seorang pianis sampai kapanpun. Dia tidak boleh pergi.

"Kau bicara apa? Kau harus melanjutkannya sendiri. Kau sudah berjanji akan menunjukkannya padaku," ujarku.

Dia memberikan sesuatu untukku. Tangannya yang penuh darah memberikan satu gantungan kecil. Apa ini yang akan dia berikan untukku? Apa ini yang membuatnya melepaskan tangannya dari genggamanku.

"Saranghae, Im Dal Dal."

Matanya tertutup secara perlahan. Tangannya mulai melemah. Kenapa dia tidur? Dia harus bertahan. Dia harus tetap hidup.

"Ha Ni-ah, andwe!"

"Ha Ni-ah!"

Aku memeluknya dengan erat. Kenapa dia pergi meninggalkanku. Kenapa aku harus kehilangannya dengan cara seperti ini. Aku bahkan belum memberikan apapun untuknya.

•••

비가 내리면 || When It RainsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang