PART 5: BONTANG-SAMARINDA

Start from the beginning
                                    

"Boleh, nanti pakai lagi yang baru kalau mau turun ke masjid." Langsung Kamila tarik lepas jilbabnya dan menerima air mineral itu. Kamila selalu membawa jilbab lebih untuk perjalanan jauh karena sering terjadi hal seperti ini jika dia tidak hati-hati saat muntah. Dia percaya dia itu merepotkan, sering menyusahkan orang dalam perjalanan. Maka dari itu dia sering menolak ajakan jalan dari teman-temannya kalau naik mobil. Lebih seru dengan motor.

Surai perempuan itu berantakan usai jilbab tidak lagi menutupi kepalanya. Jari-jari Daffa bergerak menyisir rambut Kamila ke belakang dan menahannya di balik telinga. Kamila sedikit meremas botol minum plastik itu saat merasakan sentuhan lembut dari pria di sebelahnya.

Plastik berisi muntahan Kamila sudah dibuang di tempat sampah yang ada di depan masjid. Mereka memutuskan untuk istirahat dulu di masjid itu sampai selesai salat subuh.

"Kak Daffa."

"Ya?"

"Balik sana dulu, aku mau olesin minyak kayu putih ke perutku." Wajah Daffa agak merona, dan sedikit salah tingkah ketika berbalik memunggungi Kamila. Dipandang dari ujung kepala sampai ujung kaki tanpa berpakaian pun sejujurnya bukan dosa. Namun, Kamila malu. 20 tahun dia bernapas di bumi, tidak pernah terikat komitmen dengan laki-laki dan di rumah semenjak bapak meninggal hanya dihuni para manusia berjenis kelamin sama seperti dia.

Kamila dan Daffa keluar dari mobil setelah perempuan itu mengenakan jilbab dan mengusap perutnya dengan minyak kayu putih.

Ada beberapa mobil juga yang ikut singgah ketika azan salah subuh berkumandang.

Sampai dipukul 05.30, Daffa lanjut mengendarai Chevrolet Colorado-nya menuju kota Samarinda. Dari Bontang, jalan menuju Samarinda memang sering bermasalah. Entah itu berlubang, atau sedang diaspal sehingga memicu macet.

***

Pagi di kota Tepian, Samarinda.

Kamila sempat muntah lagi setengah jam lalu. Jadi Daffa memutuskan untuk menepikan mobilnya di warung makan yang ada di Sempaja Selatan. Sudah dekat dengan rumahnya, tetapi dia tahu dapurnya itu sedang kosong. Dia memesan teh hangat dan dua mangkuk soto ayam. Makanan dan minuman yang hangat baik untuk orang yang sudah mabuk darat. Usai mereka makan dan Kamila yang baru balik dari toilet membuang urin dan membasuh wajahnya. Daffa lanjutkan perjalanan mereka, sesekali Daffa menguap entah karena kekenyangan atau memang letih. Setelah perjalanan ke Samarinda di pagi buta.

Tidak ada kesempatan memandang takjub ke arah rumah milik pria di sampingnya, Kamila mendenguskan napas kasar yang seolah memiliki arti "akhirnya!". Ya, dia tidak suka perjalanan jauh, berjam-jam duduk di mobil.

Kamila lekas mengekori Daffa, pria itu menolak Kamila yang ikut mengangkat barang bawaan mereka. Dia minta Kamila menunggunya di teras. Gadis itu melewati beberapa tangga sebelum sampai ke depan pintu. Sedang Daffa sedang mengorek saku celananya mencari kunci.

Pintu dibuka. Suasananya jelas lengang tetapi rapi, bersih dan tampak terjaga. Tentu, ada pak Anwar yang rutin masuk ke rumah itu bersama istrinya. Mereka keluarga kecil yang dipercaya Daffa sejak dulu mengelolah rumah besarnya. Daffa membangun rumah petak di dekat taman belakang untuk ditempati Anwar beserta istrinya yang sejak dulu tidak dapat memiliki momongan. Tepat di sebelah rumah Daffa ada tante Elena, adik kandung ayahnya. Namun, Daffa tidak enak harus menitip rumahnya kepada perempuan itu. Meski Elena selalu menegaskan pada ponakannya kalau dia selalu akan berkunjung. Sekadar mengecek kinerja pak Anwar dan istrinya yang berusia lebih dari setengah abad seperti dia, ketika Daffa tidak ada di rumah seperti beberapa minggu lalu.

Elena tidak bisa hadir di pernikahan keponakannya itu karena harus merawat Brama, suaminya. Sudah setahun lebih Brama lumpuh karena cedera tulang belakang. Elena jadi jarang kemana-mana selain sesering mungkin berada di sisi Brama. Satu dari dua anak mereka sudah menikah yaitu Reno dan Siska yang diusianya ke 27 tahun menetap di Jakarta bergabung dengan perusahaan pusat milik keluarga. Siska hampir tiap bulan harus pulang menengok orang tuanya di Samarinda.

"Kak Daffa tinggal sendiri?"

Pertanyaan yang kedengarannya konyol sebab gadis itu ragu-ragu jika Daffa diusia 31 tahun itu masih tinggal bersama orang tua. Setahu Kamila, orang tua Daffa menetap di Bontang. Lebih tepatnya hanya Indi, sedangkan Hasan lebih sering di Jakarta. Kamila jadi heran, mengapa ikatan komitmen antara mertuanya itu terlihat harmonis? Padahal ayah Daffa lebih sering berada di Jakarta. Meski Indi juga tidak kalah sering dan rela bolak-balik Jakarta-Bontang.

"Kelihatannya bagaimana?" Pria itu mengerling ke arah Kamila yang hanya sebatas bahunya. Oh, tidak. Perempuan itu pendek, hampir sebahunya. Hampir.

Seulas senyum tipis Daffa menyadarkan jika Kamila sudah berucap sesuatu, dia tidak yakin beberapa detik lalu mengajak Daffa bicara. Tadinya tidak berniat terpesona dengan rumah ini, tetapi setelah beberapa langkah semakin memasuki rumah itu dia terpikat tanpa sadar.

"Hm, tidak. Tadikan kak Daffa tidak buka gerbang depan sendiri? Ada bapak-bapak." Balas Kamila tanpa memandang ke manik obsidian Daffa.

"Itu pak Anwar, dia dan istrinya. Rumah mereka ada di dekat taman belakang. Kamu mau makan apa?"

Kamila langsung menoleh, belum ada sejam mereka menandaskan semangkok soto dan ditawarkan makan lagi?

"Maksudnya, kamu tidur aja di kamar. Masih capek kan?"

Hanya anggukan kepala Kamila yang menjadi jawaban.

Mengapa Daffa jadi salah tingkah begini? Bicarapun jadi tidak nyambung. Dia tidak terbiasa dengan kehadiran perempuan itu di rumahnya, apalagi Kamila sudah berstatus sebagai istrinya.

Mereka mungkin masih mencerna semua yang terjadi, pelan-pelan sampai mereka bisa terbiasa dengan eksistensi satu sama lain. Perasaan Kamila masih abu-abu, antara sadar dan tidak sadar dengan statusnya sekarang. Perkara pernikahan ini juga terkesan abu-abu, tidak seperti dua orang yang saling mencintai yang menggebu-gebu mempersiapkan pernikahan. Tidak seperti mereka yang terkesan asing seolah baru bertemu kemarin. Malah kedua keluarga itu yang merampungkan hampir semuanya. Menyusun pernikahan antara Daffa dan Kamila sebaik mungkin.

Apa mama dan bapak dulu merasa gamang dan sanksi seperti ini usai pernikahan?

Ada endapan yang tertinggal dibenak Kamila, ingin bertanya berujung dipendam. Apa terkesan berlebihan jika dia menganggap Daffa adalah 'orang asing'? kedengarannya begitu, tetapi mereka tidak pernah terlibat komitmen serius apa-pun sebelum pernikahan ini. Daffa hanyalah tetangga yang dikenal sekenannya oleh Kamila, anak dari teman baik mama yang sekarang menjadi ibu mertuanya.

Kamila yakin pernikahan itu serumit dua ego yang berbeda, antara dua orang yang saling memiliki atas nama Tuhan. Namun, dia seakan tidak punya gejolak rasa yang menandakan kalau dia memiliki pria itu. Rasa hak memiliki terhadap pria itu, bukan tidak punya. Lebih tepatnya semua terkesan abu-abu. Kamila tidak tahu. Benaknya riuh bertanya, tetapi tidak ada harapan untuk mendapatkan jawaban. Penuh tanda tanya yang justru membuat dia takut. Dia masih mencerna jalan kehidupannya selama 20 tahun ini yang sudah berubah. Pernikahan yang sakral itu mengantarkan dia pada gerbang kehidupan yang mungkin tidak sama seperti sebelumnya. 

BERSAMBUNG


DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)Where stories live. Discover now