Chapter 9 - Punishment.

42.3K 2.3K 43
                                    

Saat kecil dulu, Alicia jarang sekali terkena virus penyakit. Mamanya selalu mengontrol pola makannya dan selalu memberikannya vitamin. Kasih sayang sang Mama juga Papa terasa begitu besar, sehingga kepergian mereka yang 'meninggalkan' Alicia, masih gadis itu tidak percayai. Pasti ada sesuatu, alasan yang begitu kuat di balik tindakan mereka itu.

Sekarang, Alicia sakit. Tubuhnya mengeluarkan keringat sangat banyak, namun dia terus saja meracau kedinginan. Tiga lapis selimut menutupinya sampai leher, hal itu masih tidak banyak membantu. Kening Alicia berkerut dalam. Setiap malam, dia akan berteriak-teriak ketakutan seolah nyawanya sedang di ujung tanduk.

Saat sedang terjaga, dia akan berhalusinasi seperti orang gila, ketakutan dan menjerit. Ketika tidur pun, mimpi buruk tiada henti menghampirinya. Kalau belum muntah, Alicia tidak akan tenang.

Terhitung sudah tiga hari Alicia seperti itu.

Lucius, yang saat ini duduk di ujung ranjang putih yang ditiduri Alicia, menatap perempuan itu tajam. Kemarahan tampak jelas dari sorot matanya.

"Seharusnya hanya aku yang boleh menyakitimu. Kau sakit seperti ini sama sekali tidak membuatku senang, Alice, kecuali aku yang turun tangan langsung menyakitimu, maka itu tidak apa, aku bahagia." Lucius tersenyum untuk sedetik kemudian kembali datar. "Cepatlah sembuh, aku masih harus menghukummu," lanjutnya.

"Dia tidak akan sembuh kalau kau terus mengancamnya seperti itu, Lucius. Admit it, kau sebenarnya memiliki sisi lembut yang hanya kau punya untuk gadis ini."

Lucius menghunuskan tatapan membunuhnya pada Dokter Roy yang tengah bersandar di kusen pintu, menatapnya jenaka. Mengabaikan perkataan lelaki itu, Lucius memilih untuk bangkit dan menghampiri dokter Roy.

"Sembuhkan dia segera. Kalau sampai keadaannya memburuk, nyawamu adalah gantinya."

Dokter Roy menghapus seringaian di bibirnya, tiba-tiba saja menjadi gugup karena ancaman Lucius itu. Dia sejujurnya sudah sangat kebal pada kekejaman Lucius, namun tetap saja aura gelap yang Lucius keluarkan masih membuatnya bergidik ngeri. Alhasil, Dokter Roy hanya mampu mengangguk.

"Kalau saja kau memberiku izin untuk membawanya ke rumah sakit, maka mungkin dia akan lebih cepat sembuh," katanya sambil berjalan memasuki kamar untuk memeriksa infus di samping tempat tidur Alicia.

Lucius terkekeh dingin. "Lalu untuk apa aku membayarmu mahal-mahal kalau aku perlu rumah sakit?"

Dokter Roy berbalik menatapnya, berjalan kembali mendekati Lucius yang masih berdiri di dekat pintu. "Lucius, setidaknya rumah sakit memiliki peralatan medis yang lebih lengkap dari yang aku punya."

Lucius tetap tidak bergeming, setelah melemparkan sebuah seringaian tipis, dia pun memilih untuk keluar dari ruangan Alicia.

***

Lucius duduk di meja kerjanya, menatap tanpa ekspresi pada sosok pria di hadapannya. Pria itu mengenakan pakaian yang seluruhnya berwarna hitam, termasuk topi yang sedikit mampu menutupi wajahnya dalam bayangan.

"Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik, Ben. Mereka sudah kau pastikan akan membusuk di tempat itu, kan?"

Pria bernama Ben itu menganggukkan kepala yang tertunduk dalam.

Lucius tersenyum puas. Ruang kerjanya yang gelap dan hanya disinari cahaya bulan, membuat iris matanya yang merah itu seolah menyala-nyala. Salah satu alasan mengapa pria di hadapannya memilih untuk tidak menatapnya sama sekali, walaupun hal itu terkesan tidak sopan.

"Bagus. Sekarang, tugasmu kembali seperti biasa, namun kali ini aku ingin kau mengambil foto dengan jarak yang lebih dekat. Aku juga akan mengirimu sebuah foto nanti, tunjukkan pada mereka, jangan sampai ketahuan," kata Lucius, memerintah sang abdi.

LIVING WITH THE DEVILWhere stories live. Discover now