Ablaze 03 - Affection

6.6K 649 48
                                    


Sama seperti di hari sebelumnya, di mana Alarick menunggu Alicia pulang di ruang tamu—tempat favoritnya, Bersama teh hangat yang masih mengepulkan asap.

Alicia duduk di hadapan pria itu, menontonnya menuang cairan teh tersebut ke dalam cangkir, lalu menyodorkannya ke depan. Alicia hanya melirik teh tersebut sebentar, sebelum menatap ayahnya tepat di mata.

"Aku sudah melakukan seperti yang kau minta," kata Alicia.

Mendengar itu, Alarick tertawa terbahak.

Rasa muak membuat Alicia ingin muntah saat itu juga. Perutnya bergejolak dengan hebat, tapi semua itu berhasil dia tahan dengan mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia tidak mau membuat Alarick marah.

Alicia jauh lebih muak melihat darahnya sendiri berceceran di lantai, atau membentuk cipratan di dinding.

Mendadak napasnya menjadi memburu, mengingat saat-saat penuh siksaan itu terjadi.

Tidak akan ada lagi.

Dia akan hidup demi Lucius, demi anak mereka.

Dan satu-satunya jalan untuk itu adalah mematuhi Alarick Lucero dan mengikuti permainannya.

"Kau benar-benar menjadi penurut setelah insiden itu," kata Alarick.

Alicia mengingat pecut panjang yang dilayangkan padanya pada ruang temaram. Helai demi helai rambutnya yang patah dan jatuh di lantai. Dia juga ingat bau amis darah yang begitu pekat di udara. Terkadang dia juga masih bisa mendengar suara teriakannya sendiri yang begitu memekakkan telinga.

Menunjukkan senyum dinginnya, Alicia berkata, "Terima kasih atas pujiannya, Ayah."

Alarick tertawa lagi. "Karena aku tidak kunjung mendapat telepon, jadi apakah kencan butamu kali ini berhasil?"

"Ya. Seperti yang Ayah harapkan," jawab Alicia. Dari arah belakang, dia merasakan tatapan seseorang tertuju padanya, tapi Alicia tidak menoleh. Langkah-langkah berat yang berlarian tadi sudah cukup memberi tahunya siapa itu.

"Adrian," kata Alarick. Dia meletakkan cangkir tehnya kembali ke tatakan, menatap putranya yang berdiri di ambang pintu masuk. "Bukankah ini sudah waktunya untuk tidur? Apa yang kau lakukan di sini, Nak?"

Adrian sepertinya memilih untuk terus bergeming, karena tidak ada jawaban apa pun yang terdengar darinya.

Dan sepertinya, Alarick juga menjadi tidak sabaran. "Aku yakin pasti ada sesuatu yang ingin kau katakan. Ya?"

"Ya," jawab Adrian pada akhirnya.

"Dan apa itu, Putraku?"

Alicia bisa melihat bahwa Alarick tengah mencoba untuk sabar. Tapi sandiwaranya begitu tidak tercela. Kalau Alicia tidak tahu kebenarannya, dia akan menganggap ekspresi dan nada suara pria ini adalah sebuah bentuk kasih sayang.

Apakah begini cara Alarick menipu Alicia kecil dahulu?

Sungguh anak kecil yang polos, pikir Alicia, merasa perihatin pada Adrian. Tapi dengan cepat dia menepis perasaan tersebut. Saat ini, dia tidak ingin mengasihani siapa pun.

Rasa simpati hanya akan menimbulkan perasaan-perasaan yang melemahkan yang tidak Alicia butuhkan.

"Adrian?" panggil Alarick, terdengar semakin tidak sabar.

"Ibu mencari Ayah," jawab Adrian dengan cepat.

Alicia melirik ekspresi dingin di wajah Alarick, mencari tahu sedikit mungkin afeksi yang mungkin pria ini miliki untuk istrinya, tapi sepertinya perasaan itu sudah terhapus oleh keambisiusan balas dendam yang ia miliki.

LIVING WITH THE DEVILWhere stories live. Discover now