Ablaze 24 - Better Without

4.7K 521 13
                                    

LIVING WITH THE DEVIL: ablaze – Chapter 24: Better Without

Ponsel Gabrielle berdering saat dia dan Alicia tengah makan malam. Dia mengangkat ponselnya dan melihat sebaris nama yang tertera di layar. Itu adalah Lucius. Setelah memberikan Alicia lirikan sekilas, dia pun mengangkat telepon itu dan pergi menjauh untuk sesaat. Alicia hanya menatapnya penasaran, tapi melanjutkan makannya lagi.

"Lucius."

Tangan Alicia yang hendak menyuap sepotong roti ke mulutnya sontak berhenti ketika mendengar nama pria itu dari Gabrielle. Gabrielle berbicara di dekat jendela, tapi Alicia masih bisa mendengar suara wanita itu walau samar.

"Kau butuh sesuatu?" tanya Gabrielle. "Ah, obatmu habis ya? Sudah kuperingatkan sebelumnya, bukan? Jangan mengkonsumsinya lebih banyak dari yang telah kudosiskan. Kau begitu keras kepala, Luc. Kalau bayimu mendengar ini, dia pasti akan mengamuk dan memintaku untuk mengantarkannya padamu."

"...."

"Aku tidak berlebihan, Sayang. Dan jangan semakin menyusahkanku!"

Gabrielle menoleh ke arah Alicia. Sontak Alicia menunduk dan menyuap makanannya, berpura-pura bahwa dia tengah menikmati sarapan ini dan tidak mendengar apa pun yang Gabrielle katakan.

Namun setelah itu, Gabrielle melangkah menjauh dan keluar dari ruang makan.

Jantung Alicia berdetak kencang. Benaknya bertanya-tanya yang apa yang kiranya Lucius dan Gabrielle bicarakan sampai Gabrielle harus pergi dan tidak ingin didengar seperti itu.

Haruskah Alicia mengikutinya dan mencuri dengar?

Alicia menggeleng. Itu tindakan yang tidak sopan. Dia hanya harus percaya bahwa Lucius akan kembali, dan itu tidak akan lama lagi. Alicia pun mengelus perutnya dan menghabiskan sisa makanannya dengan lahap.

Beberapa saat kemudian, Gabrielle kembali saat Alicia tengah meminum susu. Alicia langsung menghabiskan susu itu dengan cepat lalu menatap Gabrielle penuh penasaran, berharap Gabrielle mau menceritakan apa saja yang Lucius katakan padanya. Wanita paruh baya yang berwajah sangat muda itu pun mendekati Alicia, mengambil tisu lalu mengelap bibir Alicia dari noda putih bekas susu. Setelah itu dia kembali duduk di kursinya tanpa mengatakan apa pun.

Pipi Alicia merona. Dia mengambil tisu lain untuk mengelap bibirnya. Alicia begitu malu pada dirinya sendiri yang diperlakukan seperti anak kecil. Pertama oleh Lucius dan sekarang Gabrielle. Padahal sebenarnya, Alicia begitu ingin bersikap anggun dan penuh kedewasaan seperti Gabrielle. Dengan begitu, Lucius pasti akan lebih menyukainya.

Alicia menunduk, menatap gelas susunya yang telah kosong. "Apa kata Lucius?" dia akhirnya bertanya, karena Gabrielle tampak tidak berniat untuk memberi tahu Alicia apa pun.

Gabrielle yang tengah menyuap roti ke mulutnya menoleh. "Oh, dia hanya meminta dosis obat baru," jawabnya.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Alicia lagi dengan kekhawatiran yang terdengar di suaranya.

Gabrille mengangguk. "Seperti yang kubilang, selama dia tidak mati, artinya dia baik-baik saja."

Tatapan Alicia menyipit kesal. "Kenapa kau selalu mengatakan hal mengerikan seperti itu pada ponakanmu sendiri?"

Gabrielle balas menatap Alicia dengan kerlingan geli di matanya. Alicia mengingatkan Gabrielle pada seekor kucing peliharaannya di rumah, yang sama-sama membuatnya gemas.

"Kau bisa bilang padaku kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Itu akan membuatku merasa lebih baik karena kekhawatiranku ternyata beralasan," ujar Alicia.

Selama ini, Lucius selalu berusaha menampilkan sosok dirinya yang kuat dan tidak akan pernah tumbang apa pun yang terjadi, tapi saat pertama kali Alicia melihatnya mengerang kesakitan dan mengamuk di hadapan jendela mozaik yang dibasuh oleh sinar rembulan itu, Alicia menyadari bahwa mau bagaimanapun Lucius tetaplah seorang manusia yang memiliki kerapuhannya sendiri. "Apa sakit kepalanya memburuk?" tanya Alicia, menebak.

Suara helaan napas panjang terdengar. Gabrielle menjawab, "Alicia, Lucius tidak akan pernah bisa lepas dari rasa sakit itu. Dia akan selalu merasakannya. Apa kau pernah melihat Lucius bersantai seolah dia tidak sedang dikejar-kejar oleh sesuatu? Apa kau pernah melihatnya tertidur pulas lebih dari lima jam tanpa harus terbangun oleh mimpi buruk? Tidak. Karena sampai kapan pun, dia tidak akan pernah baik-baik saja. Selamanya dia mungkin akan hidup seperti itu."

"...."

"Jadi bagiku, selama dia masih bernapas, artinya dia baik-baik saja."

Pandangan Alicia pada permukaan meja makan mengabur oleh air mata. Yang saat tersadar bahwa dirinya menangis, langsung dia hapus air mata itu dengan tangannya. Dia tidak ingin tampak cengeng di hadapan Gabrielle, tapi sayangnya Alicia tidak berhasil. Dia teringat pada saat-saat di mana dia percaya bahwa Lucius sudah tidak ada. Betapa sakit yang dia rasakan saat itu. Dan kemudian ketika mereka akhirnya bertemu, Alicia malah mendapati bahwa Lucius tidak mengingatnya sama sekali dan balas menatapnya seolah dia adalah orang asing yang mengganggu dan harus segera disingkirkan.

"Kau benar," kata Alicia, tersenyum getir. "Dia baik-baik saja," lanjutnya.

Gabrielle menatap lurus ke arah Alicia. "Dia sama sekali tidak menyinggung tentangmu. Apakah hubungan kalian berdua sudah seburuk itu?" tanya Gabrielle, ekspresi di wajahnya nyaris nihil.

Dan Alicia ditinggalkan tanpa tahu harus menjawab apa. Hatinya sakit mengetahui bahwa Lucius sama sekali tidak bertanya tentang dirinya. Padahal Alicia sudah sangat merindukan pria itu.

"Apa pun keputusan kalian, kupikir ini adalah yang terbaik," kata Gabrielle sembari kembali menyuap roti ke mulutnya.

"A-apa maksudmu, Aunt Gabrielle?" tanya Alicia.

"Yah, rasa sakit Lucius semakin parah semenjak kebakaran itu. Sudah beberapa kali dokter mencoba merangsang ingatannya, tapi anehnya dia ingat semua hal kecuali segala yang menyangkut dirimu. Jadi bukankah bagus, kalau kalian berpisah? Lucius tidah harus merasakan sakit itu lagi. Ya, kan?"

"Maksudmu, Lucius lebih baik tanpaku?" tanya Alicia untuk memastikan. Dia balas menatap Gabrielle dengan pandangan tidak percaya.

Gabrielle tersenyum manis. "Ya." Mata biru itu tampak seperti lautan malam yang beku, dinginnya membuat Alicia tidak nyaman.

"T-tapi—"

"Alicia," sela Gabrielle. "Kau harus tahu, bahwa kalau ada yang harus kucintai di dunia ini selain diriku sendiri, itu adalah Lucius, keponakanku tersayang," ungkapnya dengan senyum lembut yang menipu, sebelum dia bangkit berdiri dan pergi dari ruang makan tanpa mengatakan apa pun lagi.

Alicia menatap punggung Gabrielle yang kemudian menghilang di balik pintu. "Apa ... maksudnya itu?" gumam Alicia yang masih terguncang. Dia mencoba mencerna kembali ucapan Gabrielle di kepalanya. Lalu tersenyum lirih, menunduk menatap tangannya yang terjalin erat di pangkuan.

Bibir Alicia gemetar saat akhirnya dia mengerti maksud Gabrielle.

"Ah, dia benar lagi," ucapnya.

Bagi Gabrielle, kehilangan kakak sulungnya pasti bukan sesuatu hal yang mudah. Setelah kebakaran puluhan tahun silam itu, Alicia membayangkan Gabrielle datang dan hanya menemukan keponakannya seorang diri; bocah laki-laki yang tengah menangis pilu, sementara keluarganya lenyap menjadi abu.

Pasti sangat menyakitkan.

Gabrielle adalah seseorang yang telah menyelamatkan Lucius dari banyak hal yang bisa lebih menghancurkan pria itu di dunia ini. Sementara apa yang telah Alicia lakukan? Apa yang telah Alicia beri pada Lucius selain rasa sakit?

***


Hai, Readers. Cerita ini sudah tamat lho di Karyakarsa. Yang nggak sabar menunggu kelanjutannya di Wattpad, bisa ke sana ya. Harganya dijamin terjangkau! 🥰

LIVING WITH THE DEVILWhere stories live. Discover now