27. Yang terdalam

3.2K 263 6
                                    

1166 word

Tautan jari terlepas
Rangkulan hangat merenggang
Rasa dingin menusuk tulang
Mencekik dan menghilangkan napas

Mafia

Aku melangkah keluar dari kamar, menuju ruang makan yang menyatu dengan dapur. Rumah ini sedikit lebih besar dari rumah minimalis Damian dan Lin sebelumnya. Masih berupa bangunan klasik dari kayu mahal yang indah. Walau tak ada yang menempati, rumah ini masih terawat dan isinya masih lengkap. Jelas, bahwa rumah ini masih dipelihara dengan baik. Aku mulai bertanya-tanya ada berapa banyak rumah persembunyian keluarga Arvy. Inilah salah satu sebab mengapa begitu sulit menangkap mereka.

Saat aku menapaki dapur, di sana kosong, tapi hidangan tertata rapi di meja kayu sederhana.

Aku mengenyit dan memperluas pandangan ke sekeliling mencari keberadaan makhluk indah—istriku.

"Lin." Aku mulai memanggil saat aku tak menemukan siapapun.

"Lin." Panggilan kedua belum ada jawaban.

"Lin." Aku mulai khawatir.

Aku mulai mengitari rumah untuk mencarinya, pada akhirnya aku menemukan Lin di dalam kamar Faiqa. Gadis itu duduk di tepi ranjang menatap Faiqa yang justru tampak lemas bersandar di kepala ranjang.

Wajah gadis kuat itu pucat, sekali lihat, sangat jelas bahwa ia tak enak badan.

Lin mendongak menatapku di ambang pintu.

"Aku mencarimu," ucapku.

Ia mengangguk, kemudian berdiri.

"Ada apa dengannya?" tanyaku pada Lin menunjuk Faiqa dengan daguku.

"Sakit."

Aku ber–"Oh"–ria. Menatap Faiqa lagi saat gadis itu turut menatapku.

"Aku tak tau kalau kau juga bisa sakit." Aku menyindirnya.

Rasanya sangat tidak nyaman mendapati perilakunya yang berubah pendiam dan tenang. Aku terbiasa dengan sifatnya yang meledak-ledak.

"Sakit apa kau? Penyakit apa yang bisa membuatmu sepayah ini?" Aku mengangkat sebelah alisku menatapnya jenaka, tatapannya tajam menatapku.

"Sudahlah," peringat Lin.

Aku terkekeh kemudian menatap istriku. "Sebaiknya dia ke dokter." Aku memberi saran.

Kekehanku berganti dengan tawa menyebalkan, aku mengerling ke arah Faiqa. "Sekalian periksa otaknya."

"Aku tidak ingin diperiksa." Suara yang serak itu menghentikan kekehanku. Aku mengenyit.

"Kenapa?" tanya Lin. Suaranya masih setenang biasanya.

"Aku tidak mau." Faiqa menunduk.

"Kau sakit."

"Aku tak apa-apa."

"Kau harus diperiksa."

"Tidak!" Faiqa keras kepala.

Lin tak menjawabnya, gadis bermanik cokelat itu menatapku. "Aku akan memanggil dokter. Jaga dia sebentar."

"Tidak usah!" Faiqa berteriak marah, matanya memerah dan berkaca-kaca. Bibirnya yang kering dan pecah-pecah di gigitnya kuat, sampai titik-titik darah merah bermunculan.

Lin dan aku terdiam. Aku belum pernah melihat Faiqa yang seperti ini.

"Tenang, ok? Aku hanya bercanda. Dokter tidak akan memeriksa otakmu." Aku mencoba menenangkannya. Mungkin ia marah karena perkataanku sebelumnya.

MAFIA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang