11. Gelapnya sang Jiwa.

4.7K 367 1
                                    

1553 word.

Lin hanya menatapnya sekilas, sebelum menarik tanganku ke arah belakang rumah diikuti oleh Faiqa.

Kami mengintip dari celah pintu yang menghubungkan dapur dan ruang tengah tadi.

Tampak Damian Arvy sedang berbicara pada Jean. Raut wajah Jean tampak tenang tapi berbahaya tak menanggapi apapun yang di katakan Damian yang menyambutnya dengan senang hati.

Aku merasa tubuhku sedikit bergetar dengan kehadiran orang itu. Auranya yang tajam, berbahaya dan mencekam terasa mencekikku.

Lalu Jean pergi mengikuti Damian ke suatu ruangan yang tak tau ke mana.

"Ah, Nona, bagaimana ini? Aku khawatir kita tak bisa pergi dari sini karena penjagaan orang orang menyeramkan itu." Faiqa menatap khawatir.

"Apa kau bisa mengalihkan perhatian mereka?" Tanya Lin pada Faiqa. "Aku akan lewat pintu gerbang belakang."

"Tapi siapa yang akan melindungimu? Aku tak mungkin membiarkan Nona bersama seseorang yang tak kompeten seperti dia." Di akhir katanya, Faiqa melirikku dengan kesal.

Aku mendelik, bisa-bisanya ia sempat menghinaku di situasi segenting sekarang. "Aku bisa beladiri kok," kataku.

"Aku mungkin takkan disakiti mereka. Tapi, begitu melihatmu, mereka pasti akan langsung membunuhmu."

"Apa maksudmu dengan kau mungkin tak di sakiti? Kau tak yakin bahwa orang-orang itu takkan melukaimu?" Tanyaku menggebu, menekan ke kata mungkin.

"Ah, sudahlah. Aku takut tuan Jean akan menyadari kehadiran kaliam di sini. Sebaiknya kalian pergi sekarang! Aku akan mengalihkan perhatian," kata Faiqa tegas.

Kami berjalan berhati-hati sampai ke pintu belakang. Adrenalinku bertambah. Kusempatkan menatap wajah Lin yang masih tetap datar walau aku tau ia pun sangatlah waspada pada sekeliling kami.

Kami memgintip sedikit dari jendela. Di gerbang belakang rumah mewah ini ada 2 orang berbadan kekar bertampang menyeramkan bak preman yang berdiri di sana.

Mereka tentulah bukan security rumah ini. Mereka adalah pengawalnya Jean Arvy. Aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa pria itu harus membawa pengawal sebegini banyak? Bukankah ini terlalu mencolokkan keberadaannya?"

"Hanya 2 orang. Aku akan mengalihkan mereka. Dan Kevin, tolong jaga Nonaku." Faiqa melirikku.

"Namaku Ken. Kenan." Ralatku.

Faiqa memutar matanya. "Aku tak peduli."

Aku mendelik kesal saat Faiqa telah membuka pintu dan mengisyaratkan agar aku dan Lin bersembunyi.

Aku mengintip sedikit melihat punggung wanita itu, di hadapannya dua orang kekar itu menatapnya dengan senyum kurang ajar. Ia tampak berbicara pada orang-orang itu. Entah apa yang ia katakan.

Tak lama, Faiqa telah membawa kedua orang itu melangkah pergi dari gerbang. Dengan itu, aku dan Lin mengendap-ngendap seperti pencuri.

Jantungku berdentuman, aku menatap awas sekeliling berharap tak akan ada yang menemukan kami. Aku khawatir. Aku takut. Takut terjadi apa apa pada Kami -khususnya Lin.

Kami telah sampai di luar gerbang dengan selamat. Aku bernapas lega. Kutatap wajah Lin yang menampilkan kelegaan yang sama.

"Aku--"

"Mau ke mana kau, Bocah!" tubuhku terhantam sebuah tendangan yang membuatku terhempas beberapa meter.

Aku merintih sakit memegangi pinggangku menatap seorang pria tinggi besar berwajah keras dan seram menatapku dengan raut membunuhnya. Salah satu tangannya memegangi erat lengan Lin, gadisku menahan rasa sakit di lengannya.

MAFIA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang