13. Rumit (2)

4.1K 301 1
                                    

1394 word

Aku berhenti di sebuah bangunan bergaya semi modern klasik ketika hari sudah mulai gelap. Ini adalah kedua kalinya aku mengunjungi rumah model seperti ini. Pertama, rumahnya Damian Arvy (paman Lin) dan sekarang yang  ada di hadapanku ini. Bedanya, rumah ini lebih kecil dan lebih sederhana dari rumah Damian.

Aku melihat-lihat ke sekeliling. Tempat ini begitu sepi namun sejuk. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain cukup jauh. Di sekeliling tempatnya juga banyak pohon tinggi yang rindang. Benar-benar tempat yang tenang yang misterius.

"Senang dengan apa yang kau lihat?" sapa sebuah suara. Gadis berpakaian serba putih itu menatapku sambil bersandar di ambang pintu dengan tangan terlipat di depan dada.

"Rumah siapa ini?" tanyaku setelah menghampiri Faiqa.

"Ayo, masuk saja dulu!" ajak Faiqa. Kami masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu. Di dalam rumah sebagian besar terbuat dari kayu kualitas bagus yang di dominasi warna cokelat mocca dan cokelat gelap seperti warna netra Lin. Perabotannya pun sedikit dan terkesan simple.

"Ini rumah rahasia kami. Tak ada yang tau tempat ini milik kami, kecuali kau sekarang. Jadi, yah.. kurasa tempat ini akan aman." ucap Faiqa sedikit tidak yakin dengan kalimat terakhirnya. Gadis yang berjalan di depanku itu berbalik, kami sekarang berhadapan.

"Benarkah? Termasuk Jean tak mengetahuinya?"

Faiqa mengangkat bahunya, "Mungkin."

"Kenapa mungkin?"

Faiqa mendengus, "Tuan Jean itu sepertinya punya radar yang selalu tau di mana keberadaan Nonaku. Sangat sulit menyembunyikan Nona darinya."

"Mendengar kata-katamu, sepertinya bukan sekali ini saja Lin berusaha bersembunyi, benarkan?"

Faiqa mengangguk, "Ya, dan sayangnya tak pernah berhasil."

Aku terdiam.

"Nah ayo, kita mulai latihan sekarang. Ganti pakaianmu di kamar itu dan datangi aku di halaman belakang," kata Faiqa cepat sembari menunjuk sebuah pintu.

"Oh tunggu, sekarang? Kukira kau akan menyuruhku beristirahat dulu," kataku kesal.

Faiqa tersenyum menyebalkan, "Kalau mau beristirahat sana ke hotel saja. Lagipula itu salahmu kan? Kau disuruh datang besok tapi tidak sampai beberapa jam kau sudah berdiri di sini. Ini bukan salahku."

Aku mendengus ketika Faiqa berlalu sambil berkata bahwa ia memberiku waktu 10 menit . Benar-benar wanita menyebalkan!

Mafia

Buakkk..

"Aaargghhh!" Aku berteriak kesakitan lagi saat Faiqa membanting tubuhku ke tanah berumput untuk ke 49 kalinya.

Ini sudah pukul sepuluh malam dan badanku rasanya remuk karena hanga aku yang terus yang dipukuli oleh seorang perempuan yang terlihat masih anteng-anteng saja. Aku bahkan mulai mempertanyakan kebenaran bahwa ia seorang wanita, nyatanya kekuatannya seperti monster.

"Kau payah." Ia mengejek menatap rendah diriku.

Aku mendesis merasakan sakit di sekujur tubuhku, "Bisakah kau lebih sedikit lembut pada seorang pemula?"

Faiqa tertawa meremehkan, "Pemula hah? Kau lupa? Kau itu seorang polisi tau! Tapi, melihat kau lamban dan begitu bodoh aku mempertanyakan bagaimana bisa kau masuk kepolisian? Orang dalam? Oh, apa dengan nama keluargamu itu? Cih menjijikan."

Aku mendesis, bukan karena rasa sakit di tubuhku melainkan gelembung amarah di dadaku. Kedua tanganku mengepal.

Dari kecil, saat aku senang menonton banyak sekali film superhero, aku mengidamkan menjadi polisi yang  terlihat sangat keren dalam mengatasi orang-orang jahat sama seperti superhero itu. Hingga cita-cita itu terus ada sampai aku bertumbuh besar dan terealisasi pada akhirnya. Aku sempat berpikir, mengapa aku begitu mudah masuk kepolisian tanpa tes berarti sedang yang lain mengeluh karena tes yang rumit.

MAFIA (Completed)Место, где живут истории. Откройте их для себя