22. Riak

3.4K 249 2
                                    

1018 word

"Pulanglah secara terpisah." Nasehat Damian Arvy pada adik dan teman-temanku. Mereka mengangguk.

"Kalau begitu, Keila biar pulang bersamaku," ujar Juan, "Arian bisa bersama Allen."

Mataku memicing. "Kenapa adikku harus pulang denganmu?" Bagai kakak protektif aku bertanya.

"Lalu dia harus pulang jalan kaki?" balas Juan.

"Gak! Yang kumaksud, kenapa Keila gak pulang sama Allen atau Arian saja?" Kuperjelas kata-kataku. Melirik pada dua makhluk astral yang menatapku malas.

"Karena aku pacar Keila."

Mataku melotot. "Apa?!" jeritku bagai remaja yang baru mendapat datang bulan pertamanya. "Sejak kapan? Kapan kau pacaran sama kunyuk itu, Kei?" Aku menatap pada Keila menuntut penjelasan.

Gadis itu nyengir sambil mengangkat dua jarinya membentuk V. "Akan kujelaskan nanti," bisik Keila menatapku memohon.

Juan memutar bola mata. "Lagipula kau mau Keila diantar Arian jalan kaki? Atau digendong? Si curut itu gak bawa kendaraan."

Aku melirik Arian. Ya, tidak mungkin aku membiarkan adik kesayanganku jalan kaki sampai kota, itu terlalu jauh. Aku melirik Allen, Hanya ada satu orang lagi...

"Dan tidak mungkin diantar oleh Allen kan? Allen itu sukanya batangan btw," kata Juan lempeng.

Plakk! "Aw!" Juan mendapat geplakan di belakang kepalanya.

"Aku masih normal, Kadal!" Allen sebagai tersangka penggeplakan itu menatap kesal.

"Normal apanya? Selama mengenalmu, kau tidak pernah dekat dengan perempuan. Hampir saja aku mengira kau dan Kenan adalah pasangan gay, karena tidak tertarik sama perempuan." Juan mengelus belakang kepalanya.

"Woi!" Aku berteriak tidak terima, enak saja!

"Sudahlah kalian kekanakan sekali, ingat umur!" lerai Arian.

"Sebaiknya kalian segera berangkat, hati hati," pesan Damian.

Allen dan Arian berangkat lebih dulu disusul dengan Juan dan Keila.

"Hati-hati, Nak, sebisa mungkin aku pasti akan melindungimu." Damian mengelus kepala Lin.

Lin mengangguk. "Terimakasih, Paman."

"Jaga keponakanku. Kalau sampai dia lecet sedikit saja, aku akan pastikan peluru bersarang di kepalamu," peringat pria setengah abad itu padaku.

Aku menelan ludah susah payah dan mengangguk patuh. "I–iya."

Kami naik ke mobil, bersama Faiqa yang duduk di bangku belakang. Dia hanya diam, tak mengatakan apapun. Baju hitamnya seolah memambah kemasaman ekspresinya.

Kami berangkat setelah mengucap salam pada Damian Arvy.

Dalam perjalanan yang sunyi, tak ada yang berani memecah suasana hening ini.

Lin tak bicara apapun, hanya menatap keluar jendela mobil, Faiqa pun sama saja, sedang aku tak tau bagaimana caranya bisa memecah suasana aneh ini.

Di tengah perjalanan, deringan ponsel memecah keheningan. Ponsel 5 inchi itu menampilkan nama Keila.

Lin mengambil ponselku dan mengaktifkan loadspeaker-nya.

"Ha—"

"Kak, gawat! Kak Syaira berniat bunuh diri!" Dari balik suara panik Keila, aku bisa mendengar keributan.

Ciiiiiiiiiiiiiitttttt! Aku mengerem mobil secara mendadak.

"Apa? Kalian ada dimana?"

"Di Jembatan Huin."

MAFIA (Completed)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum