19. Restu

3.8K 302 0
                                    

1052 word

Tanpa aku duga, Keila menyetujuinya. Setuju akan lamaranku dan menerima Lin.

Aku tidak tau apa yang dibicarakan kedua wanita kesayanganku itu sore tadi, yang aku tau hanyalah ini akan menjadi hal baik.

"Terimakasih." Aku tersenyum melirik pada Keila. Kami sedang bersandar di balkon kamar Juan yang masih tidak sadar diri.

"Hmm." Keila mengangguk pelan, tatapannya masih menatap lurus pada pemandangan langit malam yang tenang. "Apa mama dan Papa harus diberitahu?" tanyanya.

Aku diam berpikir, lalu mengangguk "Ya, lagipula cepat atau lambat mereka pasti akan tau."

"Mereka akan syok saat tau perempuan mana yang kau pilih, Kak." Keila melirikku sekilas.

Aku mengangguk lagi. "Aku tau." Aku turut memandang ke arah langit malam tanpa bintang awal dari musim gugur. "Mungkin mereka akan langsung membunuhku saat bertemu atau justru mencoret namaku dari daftar keluarga."

Kami diam beberapa saat, menikmati angin dingin yang menyapa kami memberikan kebekuan pada raga sampai ke jiwa.

Ini mungkin sangatlah kurang ajar dan durhaka, fakta dari aku lebih memilih kekasihku dari keluargaku sendiri. Fakta bahwa aku lebih memilih meninggalkan keluargaku demi seorang gadis yang tak seberapa lama kukenal. Aku sadar hal itu.

TTapi, ku pun juga menyadari bahwa Lin butuh penopang, bahwa gadis es itu butuh seseorang yang menyanggah kehidupannya, bahwa ia butuh sisi kehangatan dalam hidupnya, bahwa ia juga pantas untuk membahagiakan dan dibahagiakan.

"Lalu, bagaimana dengan keluarganya?" Suara Keila kembali menarikku.

"Itu—"

"Permisi." Aku dan Keila berbalik dan menemukan Lin di ambang pintu balkon dengan sebuah nampan dan dua gelas cokelat hangat di atasnya.

"Aku pikir udara sedang dingin jadi aku membuat ini. Mau mencobanya?" Wajah itu tetap datar saat mengatakannya. Tak ada emosi.

Aku tersenyum menyambutnya, mengambil nampan itu di tangannya lantas menaruhnya di atas meja di sudut balkon.

"Kenapa cuma dua gelas? Kau tidak berniat meracuni kami 'kan?" Keila menatap Lin intimidasi, tapi tetap saja satu tangannya mengangkat gelas cangkir lantas menikmati isinya. "Hangatnya," gumamnya.

"Keila!" Aku berusaha memperingati kata-katanya.

"Aku bisa membuat beberapa macam racun, tapi aku tidak punya niat meracuni seseorang saat ini."

Aku menoleh ke arah Lin cepat. "Jadi kau bisa meramu racun?" tanyaku tak percaya.

Lin mengangguk sekali.

"Waahh hebat sekali haha. Seorang perempuan peramu racun dan seorang kelinci percobaan." Keila tertawa sarkartis melirikku. Walau ia menyetujui pernikahan, tapi sikapnya masih begitu menyebalkan. Kumohon, hapus dari ingatan kalian kalau dulu aku pernah menyebutnya gadis pemalu dan pendiam.

"Kelinci itu lucu." Aku membela diri.

"Kutarik ucapanku, kau adalah kadal beracun." Keila mendelik kesal.

Aku memberengut."Labil sekali."

"Memangnya—"

"Papaku," ucapan Keila dipotong oleh Lin. "dia akan memberikan izin."

"Hah?" Aku kaget. "Benarkah? Darimana kau tau?"

"Dia pasti memberikannya," ujar Lin mantap.

"Wahh, itu bagus artinya kita akan segera bertemu ayahmu. Itu—"

MAFIA (Completed)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin