2. Dirimu, Lin.

11.3K 622 3
                                    

1170 word

Hatimu yang beku
Terlalu dingin untukku
Aku tak bisa mendekapmu
Karena aku terbiasa hanyut dalam hangatnya syahdu

Bahkan saat kau menjerit pilu
Bahkan saat aku pun teramat mau
Tuk sekedar merangkulmu
Walau cuma bayangan semu

Kau membekukan hati
Harus bagaimana aku mencari
Secuil cinta yang mungkin telah pergi
Di dalam ruang hati yang mati
Untuk bisa kutempati

Mafia

Aku benar-benar seperti penguntit.

Setiap hari aku akan mengamatinya dari jauh. Menatap sosok yang tenang dalam kesendiriannya di pojok taman itu, seakan ia membius dan menghipnotisku agar selalu menatap ke arahnya.

Walau aku sudah pernah saling menatap dengan keindahan mata cokelat tajamnya, aku masih saja bersembunyi. Ya, sebenarnya aku tak menjamin dia tak sadar kehadiranku. Untungnya aku hanya ditugaskan mengawasinya di kampus saja, karena orang-orang besar di kampus ini tak ingin sesuatu hal yang buruk terjadi disebabkan gadis itu.

Walaupun bagiku, itu terdengar tak adil baginya.

Aku juga tak tau apa maksud Pak Komandan saat ia mengatakan bahwa tugas yang sedang kuemban ini bisa saja menjadi berbahaya.

Waktu itu aku mendengus. Berbahaya apanya? Memangnya gadis itu bisa melakukan apa? Tapi kemudian kesadaran menamparku, dia anak Bos Mafia yang sudah lama ingin dienyahkan keberadaannya, gangster yang berbahaya. Mungkin gadis ini tanpa kusadari selalu dijaga oleh anggota geng terlarang itu.

Namun, selama aku mengamatinya, aku tak menemukan orang-orang itu - orang yang di tugaskan menjaganya - dan saat kupertanyakan pada Komandan, ia hanya menghela napas mengatakan aku bodoh karena tak tau bahwa mereka itu sangat pintar menyamar. Ah, masa bodoh dengan hal itu, yang penting aku tampan hehe.

Aku melihat gadis itu berdiri.

Gadis yang belum kuketahui namanya itu melangkah ke gedung Fakultas, mungkin ia punya kelas.

Aku mengikutinya dalam jarak yang memastikanku tetap bisa mengamatinya.

Aku melihat semuanya.

Antara dirinya dan orang-orang.

Ketika mereka menghindarinya, saat mereka memandangnya dengan penuh rasa takut, penghinaan, dan kesinisan. Kala mereka memberi jarak antara diri mereka dan gadis itu, dan saat gadis itu masih memasang raut wajah dingin dan datar sebagai tembok penghalang semua yang ia rasakan.

Aku sesak, kenapa dunia begitu tak adil padanya?

Ia masuk ke dalam kelas, aku tetap mengikutinya. Ia duduk di bangku depan, aku berada di pojok belakang.

Aku mengamati sekeliling. Masih sama, tatapan itu masih sama, reaksi mereka masih sama, bahkan untuk dosen di depan sana. Aku bisa melihat tatapan takut serta penghakiman dalam matanya pada sosok seorang gadis yang kehadirannya begitu terlihat kontras dalam ruangan ini. Seolah pakaiannya yang tertutup itu menjadi tanda pembedanya. Hijab menjadikannya baik, tapi kelahirannya dapat membawa kabar buruk bagi orang banyak.

Aku meringis, mengapa ia mendapat banyak penghakiman pada nasib yang tak bisa ia ubah apalagi sesali?

Mafia


Saat itu, jam makan siang. Saat entah mendapat keberanian dari mana, aku mencoba mendekatinya yang duduk tenang membaca buku tebal di bangku panjang halaman belakang.

Aku mengabaikan peringatan Pak Komandan, bahwa aku hanya perlu mengawasinya tanpa mendekatinya kecuali jika ia terlihat berbuat macam-macam. Huh, memangnya bisa apa seorang gadis yang terlihat lemah di balik tembok dingin ini?

MAFIA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang