4. Sisi

7.8K 500 4
                                    

1175 word

Orang lain melihatku sebagai orang yang hidupnya sempurna. Aku adalah anak seorang pejabat negeri yang disegani, dan menjadi seorang polisi muda.

Wajahku tampan, kulitku sedikit kecokelatan - orang-orang menyebutnya eksotis -, tubuhku atletis dengan tinggi 180cm. Walau kuakui aku memang menyebalkan, tapi aku adalah orang yang supel. Aku tak membeda-bedakan siapapun. Mungkin itulah sebab yang membuat banyak gadis mendekatiku, mengerubuniku seperti semut menemukan gula.

Itulah yang mereka lihat dariku. Keluarga, harta, pekerjaan, fisik, teman dan wanita dapat kutemukan dengan mudah. Tapi mereka tak pernah tau apa yang ada di balik itu semua.

Tak pernah tau. Ah, mungkin belum.

Gigiku bergemelatuk menatap papa yang duduk di kursi di ujung meja makan dan mama di sampingnya. Mereka terus menatapku tajam.

"Papa sudah bilang tidak usah masuk kepolisian dan masuk saja ke dunia politik."

Aku tertawa meremehkan. "Dan menjadi seperti Papa?"

Pria paruh baya itu memicingkan matanya. "Setidaknya kau masih menikmati semua kemewahan ini sampai kau sebesar ini." Matanya mengedar menatap interior ruang makan yang mampu membuat orang kelas menengah ke bawah menelan ludahnya.

"Aku tak menginginkannya!" Aku menekan kata-kataku.

Papa tersenyum miring. "Apa? Kau tak menginginkannya? Lalu, uang siapa yang selalu kau pakai berfoya-foya, hah? Uangmu?" Papa tergelak meremehkan. "Bahkan gajimu sebagai polisi tak mampu membiayai kehidupanmu yang penghambur harta itu."

Tanganku yang memegang sendok dan garpu menguat. Membuat buku-buku jariku ikut memutih.

Aku bukannya tak tau apa yang terjadi pada keluargaku. Aku hanya berusaha tak peduli oleh karena itu aku dengan seenaknya menghamburkan harta.

"Aku tak akan mau lagi meminta apapun darimu, Pa. Tak akan lagi. Jadi, sebaiknya Papa hentikan semua ini dan kembalikan apa yang telah Papa ambil."

"Oh? Lalu, kalau aku tak mau, kau mau apa? MMenjebloskanku ke penjara, begitu?"

Aku berdiri dari kursiku, melemparkan sendok dan garpu dengan kasar ke sembarang arah yang membuat mama memekik.

"Ya, akan kulakukan kalau itu memang harus!" Aku menekankan tiap kata di kalimatku.

"Kenaan! Kau mau jadi anak durhaka?" Kali ini suara mama yang terdengar memperingati.

Tapi aku tak peduli. "Aku justru lebih berdosa kalau harus membiarkan orang tuaku yang mencuri uang rakyat." dan dengan itu kulangkahkan kakiku keluar rumah bahkan tak memperdulikan panggilan adikku, Keila yang menatapku khawatir. Hidupku tak sesempurna yang orang kira. Hidupku tidak baik-baik saja. Bagai bom waktu, tunggu saja sampai semua hal meledak dan menghancurkan segalanya.

Mafia.

Aku masuk ke kantor polisi dengan tampang lesu. Aku bahkan tak memakai seragam kepolisianku, hanya kaus lengan panjang yang kulipat sesiku dan celana jeans. Rambutku acak-acakan karena emosi yang membuatku mengacak rambutku sendiri, mirip anak gadis gagal nikah.

Aku memasuki ruangan si kumis Pak Komandan yang langsung dihadiahi dengan pelototannya.

"Kenaaan..! APA-APAAN PAKAIAN MU ITU? OTAKMU DI DENGKUL?" Teriaknya melengking. Ah, pak kumis ini pasti berencana meledakkan telingaku.

Aku menguap. Memang kemarin malam aku tak bisa tidur semalaman dan baru tidur pukul 3 dini hari itupun karena aku menonton drama yang membosankan sampai aku jatuh tertidur.

MAFIA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang