PART 4: TENTANG DAFFA

Start from the beginning
                                    

Pukul 07.15 Daffa bergabung menikmati teh hangat di teras bersama beberapa om Kamila. Mama yang tadinya beres-beres di dapur, memilah mangkuk dan piring menengok ke segala arah. Mama tahu, anak perempuannya yang bukan lagi tanggung jawabnya itu pasti masih berada di lautan kapuk yang nyaman. Dengan wajah gusar, mama membuka pintu kamar Kamila. Lalu, mengunci kamar itu dari dalam. Dia akan menyembur anaknya itu yang bangun kesiangan. Jangan sampai ada orang dari luar mendengar.

Benarkan! Kamila Kanika masih terlelap. Mama yang berdiri di pinggir ranjang sudah seperti malaikat pencabut nyawa yang murka.

PAKKK!

Pantat Kamila jadi sasaran pertama dari telapak tangan mama yang mengayun kasar itu.

"Kamila! Bangun! Astagfirullah Kamila, kamu sudah jadi istri dari keluarga konglomerat! Kamu gak malu masih bangun siang begini! Mama malu Kamila!" Kamila lekas duduk, perempuan itu masih mengumpulkan nyawanya. Ini libur semester, sah-sah saja jika dia bangun kesiangan dan rasanya pantat Kamila perih padahal dia pakai celana. Tenaga mama kuat sekali.

"Berubah Kamila, ya Allah. Tante Indi dan Om Hasan pasti MALU! Tau menantunya bangun kesiangan kayak kamu. Ingat kamu itu sudah termasuk keluarga mereka, jangan buat malu keluarga mereka Kamila."

Apaan sih ma! Masih pagi, tapi tutur amarahnya sudah serius sekali.

Kamila tidak terima dengan amarah mama, tidak juga berani membalas. YA KALI! Mana berani. Jadi dia diam saja.

Kamila tidak tumbuh besar di lingkungan yang sama seperti Daffa, lelaki itu hidup enak sejak lahir. Di besarkan di keluarga kaya yang memiliki perusahaan yang sudah dikenal banyak orang. Dibilang terlahir dari keluarga miskin, sebenarnya tidak. Kesannya sangat hiperbola melihat mama Mella yang seorang janda punya beberapa cabang toko roti di Bontang. Rumah Kamila juga tidak seperti istana keluarga Daffa yang paling besar di Bontang Selatan.

Jadi, pernikahan Daffa dan Kamila kedengarannya seperti kisah Kate Middleton yang menikah dengan seorang bangsawan. Pertanyaannya, kok bisa keluarga Kamila menembus petala keluarga Daffa? Keluarga mereka tidak sederajat dengan keluarga Kamila yang sederhana.

Mella ternyata punya hubungan yang sangat akrab sejak masih muda dengan Indi, ibunya Daffa. Mella yang keturunan bugis dibesarkan di tanah borneo sama seperti Indi. Kalimantan yang kini ramai, sejak dulu menjadi sasaran tanah rantau orang-orang dari sabang sampai merauke. Walaupun dilirik dari finansial keluarga sangat berbeda yang bisa membuat segan untuk mendekati keluarga kaya seperti Daffa, yang ternyata tidak memiliki kesan sombong sama sekali. Keluarga itu dikenal dermawan, tidak pandang bulu.

Kamila tidak menyadari saja, kalau keluarga mereka sedekat itu.

***

Seminggu kemudian

Mereka tidak bisa berlama-lama di Bontang. Kamila tentu ikut Daffa ke Samarinda. Suaminya adalah owner kafe 'Renjana' yang sudah tersebar di Kalimantan Timur, Bandung dan Jakarta. Dibanding bergabung dengan perusahaan keluarga, Daffa teguh memilih jalannya sendiri.

Memiliki kafe sendiri sudah jadi mimpi lelaki itu sejak dulu. Dirinya yang gemar makan, lidahnya yang peka terhadap rasa makanan, sering membantu ibu menyajikan makan membuat Daffa mengambil jurusan tata boga di Jogja setelah lulus SMA. Sejak kecil Daffa suka sekali makan bahkan ketika dia SMA berat badannya pernah tidak seideal sekarang. Siapa sangka badan Daffa yang menjulang dan tersusun oleh otot-otot yang terlatih pernah mencapai berat badan 85 kg? Pipinya mengembang seempuk bakpao, tidak ada perut keras. Ada lipatan di perutnya ketika dia duduk. Dia jadi insecure bertemu teman-teman kelasnya, tetapi ada saja yang memuji dan gemas karena pipinya. Rasa minder Daffa memupuk tekad agar memperbaiki pola makannya dan hidup sehat. Sampai akhirnya dia berhasil mengurangi lemak di tubuh hingga belasan kilo. Mengganti lemak-lemak itu dengan otot-otot yang dia jaga sampai sekarang dengan rutin berolahraga.

Daffa di tengah kesibukan sebagai mahasiswa sempat-sempatnya mencoba usaha kuliner. Dia ajak beberapa temannya bergabung merancang bisnis kecil-kecilan itu, hitung-hitung bisa menambah uang saku. Daffa dengan ketiga sahabatnya menjual martabak manis mini dan bubur sumsum, hampir tiap subuh dia bersama temannya kerkutat di dapur. Kerennya makanan produksi mereka itu dikenal sampai fakultas lain, mereka juga berani menjual di luar lingkungan akademik. Daffa kadang mendapat giliran jadi kurir. Penghuni rumah yang menjadi tujuannya sering kali merona malu, padahal Daffa tidak berniat apa-apa. Sekadar mengantar pesanan saja, senyum pun tidak lebar. Ya, banyak yang bilang jajanan mereka laku keras akibat pesona Daffa yang tidak bisa ditolak. Kesannya Daffa pakai jampi-jampi dan jual tampang, tetapi pria itu masa bodoh. Toh, kenyataannya tidak demikian. Mereka tidak perlu segan menggunakan dapur karena Daffa punya rumah kontrakan di sanalah mereka beraksi. Rumah itu memiliki dua kamar tidur, kamar sebelah sesekali dihuni oleh ayah dan Ibu yang datang menjenguk Daffa. Ketiga teman Daffa tidak berani tidur di kamar itu, menurut mereka meskipun orang tua Daffa jarang datang tetap saja itu jadi kamar orang tuanya. Mereka lebih memilih tidur depan tv, nyaman karena tidak sempit.

Ayah padahal berencana membeli rumah untuk Daffa, tetapi dia menolak keras. Dia tidak akan selamanya tinggal di Jogja, jadi tidak perlu. Jika kuliah sedang masif dan menguras pikiran, mereka akan libur beberapa hari. Menahan pesanan yang datang dari senior, junior, bahkan dosen mereka. Waktu ketahuan ayah, ayah gusar dan merasa tersinggung. Seolah Daffa dilepas begitu saja berkuliah di Jogja dan kekurangan dana dari orang tua, padahal sebaliknya. Tiap bulan rekening Daffa dapat kiriman dari ayah, dia tidak pernah menagih dan meminta. Malah memohon pada ayah agar mengirim tiga bulan sekali, itu terlalu banyak baginya. Biaya kehidupan di Jogja tidak sama seperti di Jakarta. Di Jogja duit tiga ribu rupiah sudah bisa beli nasi kucing di angkringan.

Ayah tidak bisa terus memantau apa yang dilakukan Daffa selama merantau menjadi mahasiswa di sana, jadi dia bisa bebas melanjutkan bisnis kecil-kecilannya itu. Toh, ada untungnya meski pernah rugi juga.

Melihat Daffa serius menyelami dunia kuliner dan berbeda arah seperti keluarga besarnya, orang tua Daffa pada akhirnya hanya bisa menuruti kemauan anak sulungnya. Daffa gigih melanjutkan pendidikan S2-nya di luar negeri. Dia mendaftar beasiswa di Culinary Arts Academy, Swiss, beruntung dia lolos di institusi kuliner yang sangat di hormati itu. Ada rasa bangga bercampur khawatir melepas Daffa berkuliah di negeri orang. Ayah dan ibunya tetap tidak dapat menolak karena itu salah satu kesempatan emas yang hinggap kepada anaknya. Jangan disia-siakan.

Stereotip masyarakat soal laki-laki yang tidak harus pintar memasak dan pekerjaannya bukan urusan dapur sempat meresahkan pikiran Daffa. Perempuan selalu dituntut untuk ahli di dapur, bisa memasak. Padahal itu keahlian biasa yang mesti manusia lakukan dalam memenuhi kebutuhan energi dengan cara makan.

Gelisah oleh lirikan orang-orang dan pandangan orang terhadap dirinya. Ada gosip dia penyuka sesama jenis, dia tidak semaskulin wajahnya alias bencong. Ah, mereka belum pernah lihat aksi Daffa di dapur. Mereka pasti membayangkan Daffa punya sisi lemah gemulai, elok tingkah di dapur. Daffa tetap saja lelaki tulen, di mana pun dia berada. Malah sibuk di dapur tidak mengikis kesan jantannya dan dia tampak seperti husbandable. 

BERSAMBUNG

si Aa' jago masak 😁👍

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

si Aa' jago masak 😁👍

DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)Where stories live. Discover now