"Om Ryo lagi, kan? Tajir gila," ujar Stephanie sambil membaca percakapan antara ayahnya dan sahabat SMA-nya dulu. "Eh, tapi cuma ada 3?"

"Iya. Itu buat flight Jumat besok." Mengingat-ingat sejenak, pria itu berkata, "Papa sama mama nyusul, ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal."

"Yah." Stephanie sontak kecewa kala ekspektasinya tentang dia bersama keempat anggota keluarganya, berada dalam satu pesawat bersama, dan bertamasya layaknya keluarga lainnya. Tapi, lalu, dengan pengertian besarnya, gadis itu berkata, "Ya udah, kalo gitu Jumat yang berangkat aku, Kak Max, sama Sasa aj--"

"Audrey. Yang berangkat, lo, gue, sama Audrey," tandas Max, yang sedari tadi diam.

Seakan itu adalah ide terbrilian yang belum pernah muncul dalam benaknya, Stephanie melompat dari sofanya dan bertanya dengan tingkat kebahagiaan maksimal.

"BOLEH, PA?!"

Ary mengedikkan bahunya. "Why not?"

"HEEEELLL YEAHHHHH!!!" Satu detik kemudian, gadis itu sudah asyik dengan kebahagiaannya sembari berlari mengitari rumah dengan teriakan lainnya, "THIS IS GONNA BE AMA--"

"STEPHANIE RILEY, YOUR SISTER IS TRYING TO SLEEP!!"

Bentakan Ayana barusan berhasil membisukan seisi rumah dalam seketika, dan menaruh kembali putrinya di atas sofa dengan mudahnya.

Menggelengkan kepalanya, Zachary mendengus dan tersenyum miring. "Don't forget to take care of your sister," pesannya pada putranya.

Max mendesah pelan, lalu bangkit dari hadapan ayahnya untuk masuk ke dalam kamarnya seraya berkata.

"I hate her so much it hurts."

"F you."

***

"Lo tau aja gue butuh break dari semuanya." Audrey tersenyum tulus. "Makasih, ya."

Stephanie mengangguk, membalas senyum itu selebar yang dia bisa. "Tapi, Fio nggak pa-pa, kan?"

"Fio justru seneng kalo sendiri di rumah, dia lagi seneng jait dan nulis buku, kadang juga baca," ujar Audrey tanpa kekhawatiran sedikitpun, "Ryan juga bisa diandelin, kok."

Stephanie mengangguk paham. "Nyokap lo?"

"Mama..." Berusaha mengaburkan fakta bahwa Stephanie baru saja menanyakan pertanyaan yang sensitif baginya, Audrey berkata dengan tenang seakan gumpalan perasaan tidak nyaman itu tidak membuatnya ingin meninju dinding dengan seluruh kekuatannya. "Mama adalah alasan terbesar kenapa gue butuh escape ini. Sekali lagi, thanks. Keluarga lo nolong gue banget."

"Lo udah dianggep keluarga kita sendiri, kok." Stephanie tersenyum, memainkan pagar besi balkon kamarnya, lalu menunjuk ke bawah. "Tuh, Max," tunjuknya pada cowok yang baru keluar dari dalam mobil hitamnya setelah membeli beberapa barang yang ditugaskan bundanya.

"Kak," ralat Audrey.

"Hah?"

"Kak Max."

"Iya, tuh, si Max."

Audrey mendengus geli. "Eh, tar dulu. Emangnya lo ada minggu tenang sebelum UN?"

Stephanie kembali duduk dengan posisi normalnya, bersandar di besi-besi itu, lalu menjawab dengan kesalnya, "Jaman sekarang mana ada minggu tenang?"

"Itu kenapa lo mau gue berhenti ngelesin lo sejak sebulan lalu?"

"Iya, otak gue cape bener dah," sungut gadis itu terdengar sangat terbebani. "Max beruntung, ya. Belajar, kagak, nem paling gede nasional."

"Iya, dia beruntung," sahut Audrey menyadari yang dilakukan cowok itu adalah segalanya kecuali belajar. "Kalo gue jadi lo, gue bakal lepasin German demi UN."

"Berarti lo goblok."

"Anjir."

"Lo tau satu hal yang paling gue benci di dunia ini?"

"Max?"

"Dia yang kedua setelah sistem pendidikan Indonesia."

***

2 part lagi termasuk epilog, udah gitu kita lanjut ke ceritanya stephanie.

(i might sound happy but im crying like a baby from the bottom of my heart)

by the way, sama seperti Ary & Ayana, beberapa part terakhir Ephemeral juga akan diprivate.

Jadiiii, FOLLOW qaqa.

To God be the glory,
nvst.

7.2.18

ephemeralWhere stories live. Discover now