wrst

351 33 6
                                    


if it takes my life to end all my problems, go ahead and take mine.

***

Hari itu adalah Hari Minggu, 8 Maret atau seminggu setelah kepulangan mereka kembali ke Jakarta, dan sejak hari pertama mereka kembali, Audrey tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pekerjaan rumahnya pun terbengkalai, dan jangan lupakan hasil kerjanya yang jauh lebih buruk dibanding biasanya.

Itu semua terjadi karena, sepulang dari Malang, Audrey rasa, ibunya terlalu banyak diam.

Hal itu menimbulkan banyak sekali pertanyaan di benaknya, dan itu cukup untuk menghambat hampir seluruh pekerjaannya.

Dan puncaknya adalah malam itu.

Audrey sudah lelah dengan semua spekulasi yang dibentuknya sendiri, dan gadis itu menginginkan alasan yang pasti atas kebisuan ibunya seminggu ke belakang.

"Gereja malem, Di?"

Audrey mengangguk. "Max bentar lagi nyampe."

"Hati-hati, ya." Maria tersenyum kecil. "Salam buat Max."

Hatinya menahan untuk tidak bertanya, namun rasa penasarannya yang belakangan selalu terusik membuat Audrey akhirnya menyerah.

"Kenapa diem terus, Ma?"

"Hm?"

"Apa yang terjadi pas kita ke Malang? Apa yang mama sama papa obrolin di dalem sana? Kenapa mama jadi banyak diem?"

Maria menghela nafas panjang. Ibu satu anak itu berusaha menahan air matanya.

Topik di balik keterdiamannya itu, bagi ibu manapun, adalah topik yang sangat sensitif. Dan selama apapun itu, persiapannya untuk mengungkapkan kenyataan selalu terasa kurang.

Berupaya untuk meredam kekalutannya, Maria menggosok-gosok kedua tangannya, lantad mengajak putrinya untuk duduk di kursi ruang tengah.

Sesekali, wanita itu menjilat bibirnya dan meremas jemarinya.

"Jadi begini, Nak...."

Audrey menyimak dengan penuh kehati-hatian, seakan dia bisa mengantisipasi hal buruk dalam setiap perkataan ibundanya.

"Tanpa kamu ketahui, mama sering melamar kerja di banyak tempat."

"..."

"Mama nggak pernah bisa diam melihat kondisi keluarga kita yang hancur begini. Jadi, dengan semua ijazah mama, mama berharap bisa dapat pekerjaan."

"..."

Wanita itu menggigit bibirnya, berusaha semaksimal mungkin agar bibirnya tidak bergetar. "Dan mama harusnya bisa keterima, kalau nama papa nggak ada di kartu keluarga kita."

Oh, God, no. Not again...., batin Audrey lirih.

"Pemberitaan tenang kasus yang menimpa papa kamu sudah meluas, Drey. Semua perusahaan tau itu, dan mereka nggak mau terima mama, istrinya papa, yang mereka pikir korup."

Perasaan tidak enak yang dipendamnya selama satu minggu itu pecah dalam satu kalimat singkat yang ibunya katakan.

"Jadi, kemarin, papa dan mama.... kami sepakat untuk bercerai."

Ibu dan anak itu, air mata keduanya turun setelah satu kalimat terakhir terlontar.

Maria menatap putrinya dengan perasaan campur aduk. Air matanya tidak tertahankan seiring dengan matanya yang menatap gadis kesayangannya penuh dengan sesal.

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang