lft

453 52 23
                                    


i fucking lost him.

***

"Will you be mine?"

Kasak-kusuk terdengar sangat tidak sopan saat lebih dari seribu manusia menyaksikan seorang Ryan Theodore meminta Fiona Princessa Darmawan untuk menjadi kekasihnya.

Seketika, suara riuh rendah penonton mengisi lapangan yang, tepat di tengahnya, berdiri gadis cantik itu dengan seorang cowok yang berlutut di hadapannya.

Fiona melemparkan pandangannya ke seluruh manusia yang mengelilinginya, dia berusaha mengetahui arti pandangan orang-orang itu yang menilai Ryan sangat tidak pantas untuk menjadi kekasih dari seorang Fiona.

Fiona menunduk, menatap Ryan yang tersenyum tipis menatapnya. Dia tahu cowok itu berkeringat dingin, gemetar, gugup, menahan malu, dan lain sebagainya hanya untuk dirinya seorang.

Yang dia tidak tahu, ada dua orang, dua orang itu yang dari jauh menyaksikan semuanya.

Yang satu, berteriak dari hatinya: Lo harus terima!

Yang satu lagi, memohon dengan segenap hatinya: Jangan, Fi, jangan terima.

Ryan masih tersenyum, menatap gadis terindah di hadapannya ketika gadis itu berkata.

"Maaf, Ry, gue gak bisa."

Fiona Princessa Darmawan menghempaskan sebuket bunga terindah yang cowok itu berikan dengan beragam usaha keras di baliknya, lalu berlari meninggalkannya dengan segala kekecewaan yang membendung cowok itu yang perlahan menenggelamkannya.

***

Hari Jumat itu, Audrey datang ke sekolah dengan seragam olahraganya dan rambutnya yang dikucir ekor kuda.

Dia yakin tidak akan mengikuti satu cabang olahraga pun, karena dia yakin, teman-temannya tidak mendaftarkannya di cabang olahraga mana pun karena mereka mengira Audrey tidak akan hadir lagi hari itu.

Gadis itu duduk di kursinya, di dalam kelasnya yang kosong karena semua anak sibuk dengan urusan mereka masing-masing di luar sana.

Inilah saat-saat di mana Audrey Agatha menjadi Audrey Agatha. Saat di mana semuanya hening dan dia memiliki waktunya sendiri dengan lagu yang mengalun merdu melalui earphone yang sudah sejak lama menjadi sahabat sejatinya.

Dia dan segala keluh kesahnya seakan dipisahkan oleh benteng besar yang indah ketika lagu-lagu penenang itu menghanyutkannya.

Alunan merdu itu masih membelai mesra gendang telinganya ketika seorang gadis memasuki kelas.

Audrey langsung melepaskan penyumpal telinganya, dan mengutarakan sesuatu yang mengganjal hatinya sedari tadi.

"Fi, lo nolak Ryan."

"Gue nolak Ryan."

"Kenapa?"

"Kan, lo tau alasannya."

"Jadi lo beneran nolak dia karena dia gak seganteng yang lo harapkan?" tanya Audrey tidak habis pikir. "Kalo emang lo gak mau, harusnya lo terima dulu, tadi. Lo terima dia di hadapan ratusan orang, lalu lo bicara sama dia baik-baik, berdua."

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang