trth

433 50 10
                                    


you're the only thing i can't live without.

***

Akhir bulan datang lebih cepat dari yang semua orang perkirakan.

Rasanya baru kemarin ponsel Audrey jatuh ke dalam kolam renang dan menjadi rusak permanen, saat ini, tahu-tahu sudah tanggal 23 Oktober saja.

Hari itu merupakan hari Senin di minggu yang digunakan Audrey dan Stephanie sebagai hari tambahan belajar musik, mengingat pentas seni akan diselenggarakan Senin depan, tanggal 30 Oktober.

"Max, hari ini gue ijin pulang abis belajar sama Stephanie, ya," ujar Audrey pada Max yang berbaring di pangkuan Fiona, "gue mau ke terminal, tante gue dateng."

Cowok itu sedang memainkan game di ponselnya ketika menjawab, "Hm, serah lo."

"Thanks," kata Audrey sebelum kembali ke kamar Stephanie yang entah sejak kapan, tidak terdapat Stephanie di dalamnya.

Audrey mengernyit samar. "Steph?"

Gadis itu melangkah mendekati tempat belajar mereka demi menemukan selembar post it yang ditempel di meja, mengatakan: you're going to know what a stephanie riley can do ;).

Kernyitan Audrey semakin dalam setelah membaca kalimat itu.

Belum sempat melakukan apa-apa, sebuah pesan memasuki ponselnya.

+628xxxxxxxx: Siang Audrey, ini Ibu Miriam, terima kasih kamu sudah melunasi tunggakan dari sekolah. Padahal ibu tidak memaksa kamu untuk melunasinya sekarang, tapi kamu benar-benar melunasinya. Terima kasih karena telah bekerja sama dengan sangat baik, Nak. Tuhan memberkati.

"When the hell did i pay those off?"

Stephanie memasuki ruangan dengan cengirannya. "Hai."

"Steph, lo yang lunasin tunggakan sekolah gue?" tanya Audrey langsung, mengingat isi dari post it tadi.

Gadis itu menggeleng. "Nggak, gue aja nggak tau lo punya tunggakan."

"Gue punya, tapi gue belum lunasin. Inget nggak yang waktu itu gue nyariin amplop putih?"

"Iya."

"Nah itu tuh isinya surat tunggakan. Surat itu ilang, gue gak tau nomor rekening sekolah, jadi gue gak transfer."

"JIR INI HORROR!" seru Stephanie. "COBA PANGGIL DETEKTIF—"

Audrey membungkam mulut berisik Stephanie untuk menyadarkan gadis itu bahwa omongannya sudah melantur. Kemudian, gadis itu kembali bertanya, "Lo ke mana aja tadi?"

"Rahasia." Stephanie tersenyum misterius.

Setelah sekian lama terdiam memikirkan siapa yang melunasi tunggakannya, gadis itu akhirnya berkata.

"Ayo, mulai lagi."

***

"Tante, apa kabar?"

Audrey memeluk Martha, tante nya yang datang dari Sukabumi dengan senyuman khasnya.

"Baik, Sayang. Kamu gimana?" tanya Martha, balas memeluk keponakannya. "Mama gimana sakitnya?"

"Baik, Tante. Mama sering kecapekan jadi sering ketereran kerjaannya. Tapi, sejauh ini sih, baik-baik aja," ujar Audrey, "aku udah panggil taksi online, dia nungguin deket sini."

"Ayo deh, tante udah lumayan capek," ujar Martha, lalu menggandeng tangan Audrey yang membawanya ke lapangan parkir mobil.

"Gimana sekolah, Drey?" tanya wanita itu di tengah perjalanan menuju mobil yang dimaksud.

Audrey berbalik untuk tersenyum manis. "Sekarang aku kerja, jadi makasih karena tante mau dateng untuk bantuin aku jaga mama."

"Iya, dong. Mama kamu kan kena kanker, masa tante...."

Kalimat terakhir Martha membuat Audrey sukses berhenti berjalan. Gadis itu membalikkan badannya, dan ekspresinya benar-benar berubah kala mendapati wajah tantenya yang terlihat menyesal.

Martah buru-buru meralat kalimatnya, "M-maksud tante—"

Audrey menggeleng. "Nggak. Tadi tante bilang...."

Martha memeluk tubuh gadis di hadapannya dengan tangisan yang ditahannya.

"Tante kira, mama kamu udah kasih tau kamu semuanya."

No,.... not again, batin Audrey.

***

Keesokan harinya menjadi semakin sulit bagi Audrey. Gadis itu kehilangan harapannya akan segalanya.

Ibunya, satu-satunya harapannya, harus menderita kanker leher rahim yang akhir-akhir ini menjadi biang kelelahannya.

Gadis itu hampir mengakhiri hidupnya kala ibunya semalam mengungkapkan segalanya dan berkata.

"You only have your own."

Pernah merasakan kekecewaan akan sesuatu yang tidak kita ketahui?

Itulah yang membuat gadis itu perlahan menyerah.

"Pengobatannya gimana, Ma?" tanya Audrey duduk di lantai di sebelah ranjang ibunya, dengan bibir bergetar ketika siang itu.

Maria yang terbaring lemah, menjawab lirih, "Pengangkatan rahim. Jangan nangis, Drey. I'm okay."

"You're not." Tangisan Audrey pecah ketika dia tahu, pengobatan itu hanya angan-angan baginya. "Ma, jangan tinggalin Audrey, ya. Audrey nggak punya siapa-siapa lagi."

Maria tersenyum kecil, mengangguk. "Audrey akan baik-baik aja."

"Mama juga."

Gadis itu memeluk ibunya dengan erat. "Audrey sayang banget sama mama..."

Air mata Maria jatuh juga.

"Drey...," panggilnya sambil mengusap surai anaknya.

Audrey terdiam, menunggu ibunya meneruskan kalimatnya.

"You're going to conquer the world."

***
To God be the glory,
nvst.
7.11.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang