sltn

360 42 5
                                    


wait, why do we do what lovers do?

***

Pukul 21.00, Max, Ryan, dan Audrey masih berada di apartemen Fiona. Sementara Ryan berada di dalam menemani Fiona, dua sisanya duduk di balkon ruangan berukuran 21 meter persegi itu dengan sunyi dan sepi.

Malam itu, semesta seakan bekerja sama untuk membentuk sebuah suasana yang pas untuk duduk dan merenung. Tidak terdengar suara kegaduhan kota besar yang biasanya merebut kedamaian hampir seluruh penduduk di sekitarnya.

Beralaskan tegel yang dingin, Maximus Ryan duduk menghadap lampu-lampu kota yang berkilauan menatapnya balik.

"I'm sorry i hurt your feeling," ujar cowok itu pada gadis yang duduk di sebelahnya. "I didn't mean to hurt you."

Audrey terdiam beberapa saat sebelum berkata, "I like the way you hurt me."

Detik berikutnya, keduanya saling tatap dalam mata yang berusaha menyampaikan sebuah makna.

"Why?"

"Sometimes love hurts, doesn't it?"

Max mengulaskan senyum kecil, lalu kembali menatap keindahan malam yang memberinya ketenangan yang tidak biasa dan sulit didapatnya.

Audrey menghela nafas panjang, lalu menyandarkan kepalanya di bahu kanan Max.

Mengembuskan nafas beratnya, pria itu menyandarkan kepalanya di atas kepala gadis yang bersandar di bahunya.

Lalu, untuk beberapa saat, yang mengisi waktu benar-benar hanya keberisikan si pikiran masing-masing.

Sampai Max berkata, "Kalo gue bantu lo, gue nggak mengharapkan imbalan atau pelunasan dari lo dalam bentuk apapun."

Audrey memejamkan matanya, tepat saat angin berembus pelan meniup wajahnya.

Gadis itu merasakan tangan kirinya tergenggam ketika cowok di sebelahnya melanjutkan perkataannya.

"Gue cuma mau lo tau, cara Tuhan nggak sesempit yang lo bayangin."

Mendengar itu, Audrey menghela napas berat. Gadis itu membuka matanya perlahan. "Tapi, dua puluh lima juta nggak sedikit, Max."

"Terus, cara lo gimana?"

"Minta tolong Fio?"

"Fio sendiri yang bilang, orangtuanya gak mau dengerin dia lagi."

Kalimat itu seakan menyadarkan Audrey.

Karena, ketika mendengarnya, satu-satunya yang bisa dia lakukan ialah diam sejenak sebelum menghela napas panjang yang terdengar sangat berat, dan berkata

"Lo bener."

Max menegakkan kepalanya, membuat Audrey yang terkejut, ikut melakukan hal yang sama dan menatap cowok itu yang sudah duluan menatapnya dengan tajam dan lembut.

Menangkup pipi Audrey dengan kedua tangannya, Max memohon dengan tegas dan halus di saat yang bersamaan.

"Just let me."

Gadis itu menunduk sejenak.

Cowok di hadapannya menunggu dengan sabar.

Beberapa saat terlewati, Audrey mengangkat wajahnya, dan tersenyum kecil.

"Thank you."

Max tersenyum, lalu mencium kening gadis itu lama.

***

"Jadi, uang gue ditambah uang lo pada jadi berapa?" tanya Max pada sahabat-sahabatnya, ketika keesokan harinya mereka semua berkumpul di rumah Max yang penuh oleh kehadiran seluruh keluarga intinya—satu hal yang disyukuri oleh semua anggota keluarga itu.

"Mm....," gumam Harris yang sadar duluan, sambil berpikir, "Tiga puluh juta? Bener gak, sih? WOY!!"

Seakan tersambar geledek, 5 orang lainnya langsung gelagapan.

"Eh, iya, gimana?"

"Apaan?"

"Maap, maap. Jadi gimana?"

"Nyimak nih gue sekarang."

"Sori, Mek. Apa lo bilang?"

Max menghela napas pelan, lalu berkata seakan dia bisa membaca pikiran teman-temannya. "Guys, Fio hamil, oke. Udah stop, gak usah mikirin itu lagi."

Fazar, cowok yang pembawaannya paling santai, kali ini kehilangan kesantaiannya.

"Ya tapi gimana, ya, Max." Cowok itu menggaruk kepalanya yang memang gatal. "Gue nggak nyangka aja gitu."

"Gue juga," tanggap Alex.

"Mana ada yang nyangka, si," balas Max kesal. "Tapi tenang aja, Audrey sekarang tinggal di sana. Ryan juga bakal sering nengok. Gak ada yang perlu dikhawatirin."

"Terus, sekolahnya gimana?"

"Orangtuanya?"

"Becca tau? Sahabat-sahabatnya tau?"

"Emang Fio membuncit, ya?"

"Jadi kuliah ke London ga tuh?"

"Keren juga si Audrey, udah disakitin sebegitunya, masih bisa nolong."

"Bener juga, ya."

"Cara dia maafin si Fio gimana ya? Cepet am—"

"WOY!!" Max kembali menarik perhatian keenam temannya dengan suara tegasnya.

Keenamnya mengerjap, lalu nyengir lebar.

Max menatap satu-persatu sahabatnya dengan tajam—membuat mereka berenam salah tingkah—sebelum berkata.

"Dana udah kekumpul 30 jutaan buat sewa pengacara, namanya Hari, lebihannya tergantung proses sidang nanti. Besok, gue ketemu dia di lobi apartemen Fio, jadi Audrey juga nggak ribet dan gue lebih mudah jelasin lokasinya."

"Gue ikut!" seru Alex dalam antusiasme kebocahannya.

"Nggak." Max menggeleng tegas. "Nggak ada yang ikut."

Tyler mengernyit. "Lah, kenapa lo ngasih tau kita kalo gitu?"

"Kalian kan sponsornya, kalian berhak tau."

Keenam lainnya terdiam lama sebelum mengangguk paham.

"Ya udah, good luck deh lo," ujar Ronald. "Biar lebih intim gitu kan guys, maksud Mek," goda cowok itu sambil memainkan alisnya.

Godaan itu berlanjut menjadi lelucon yang hanya mereka mengerti dan tahan akan lelucon garing itu itu.

Max mendengus seraya melihat kawan-kawannya yang menggila.

Ketika semuanya tiba-tiba menjadi diam saat melihat ke balik punggungnya, Max membalikkan badannya dan melihat ibunya berdiri di sana dengan bayi Louisa di gendongannya.

"Mama mau bicara sekarang."

***

To God be the glory,
nvst.
31.12.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang