bs

474 58 3
                                    

owning you is my second greatest happiness after making sure you're okay.

***

Dan di sanalah mereka berada.

Di dalam sebuah bus ber-AC yang memindahkan mereka ke suatu kota yang memakan waktu 18 jam perjalanan.

Setelah menjenguk Maria dan pamit pada Martha di rumah sakit serta mendapatkan kabar baik bahwa ibunda Audrey itu bisa pulang keesokan harinya, hari Sabtu 23 Desember pukul 12.00 itu akhirnya Audrey dan Max berada di dalam bus sembari bercerita tentang hidup dan segala hal yang mereka lewati tanpa satu sama lain.

"Sebenernya gue kangen sama Stephanie," ujar Audrey sambil semakin menyembunyikan dirinya di balik sweter rajutan ibunya. "Kalo gak ada dia, gue gak akan bisa bertahan hidup sampe detik ini."

Max hanya diam dan menyimak.

"Sejak gue ngelesin dia, gue tau kalo dia itu sebenernya pinter. Dia cuma ragu aja sama dirinya sendiri." Audrey menatap Max sungguh-sungguh. "Lo tau? Meragukan diri sendiri itu jauh lebih buruk daripada jadi orang bodoh."

"Tapi kalo lagi belajar sama gue, dia sering salah jawab soal-soal dari gue." Max mau tak mau melemparkan ingatannya ke beberapa bulan lalu.

"Andai lo sedeket itu sama dia, Max, lo bakal tau semua isi hatinya." Suara gadis itu terdengar prihatin dan rindu serta mengerti di saat yang bersamaan. "Dia bilang, dia sering disalahperlakukan. Dia selalu berusaha bikin semuanya benar, dan semuanya memang berjalan sesuai dengan keinginan orang lain, semuanya berjalan dengan benar. But once she does wrong, everyone judges her like she's the worst person alive, like she's a pathetic little failure."

Kalimat itu merupakan satu-satunya kalimat yang tidak bisa dijangkau oleh otak cerdas Max. Namun perlahan, hatinya mengerti.

"Kadang, kalo lagi belajar, dia punya jalannya sendiri, dia bikin rumus yang bahkan gak gue ngerti gimana asal-usulnya. Tapi jawabannya bener." Audrey tersenyum sendu. "Dan lo tau apa katanya ketika gue suruh dia pake rumus buatan dia sendiri itu?"

"..."

"She said, 'they never like my way.'"

"Wh—"

"Max, she's trying to be original, to be her." Audrey menggenggam tangan cowok itu dengan mantap. "Jadilah seorang kakak, Max. Gue gak pernah punya adek, tapi seandainya gue punya, gue gak akan biarin dia berjuang sendiri."

"Tapi, gue nggak pernah nyakitin dia, Drey."

"Tapi apa lo tau luka dia?" Kalimat Audrey sukses membuka mata Maximus Ryan dalam satu detik setelah kalimat itu selesai diucapkan. "Dengan lo yang nggak tau cerita gue ini aja, lo udah nyakitin dia, Max."

"How come doing nothing is considered hurting?"

"How come doing nothing is considered loving?"

"..."

"Show act." Audrey tersenyum memohon. "I beg you to show your act to your little sister. Sekuat-kuatnya manusia, mereka butuh kasih sayang."

"Dan sekuat-kuatnya elo, lo masih butuh gue."

Audrey melongo sesaat sebelum mendorong Max yang sudah cengengesan karena berhasil menggoda gadis itu.

"Max, gue tuh lagi serius lo malah ngeguyon." Audrey mengeluarkan tangannya dari balik lengan jaket demi menampar cowok itu.

"Anjir!"

"Brenti ketawa, gak? Yang butuh lo, siapa?"

"Lah, yang minta temenin ke Malang siapa?"

"Lah, yang kemaren bilang at least i have you forever siapa?"

Max tersenyum geli, lalu mengusap puncak kepala Audrey. "Iya, aku yang butuh."

"Don't touch me," larang Audrey sembari mendorong tangan cowok itu dengan telunjuknya. Sialnya, elusan itu membuat debaran jantungnya meliar.

Max masih terlihat geli ketika bertanya, "Lo pernah cemburu, gak, sih, liat gue sama Fio?"

"Gue? Cemburu?" Audrey tertawa, mengibaskan tangannya, lalu berdusta, "Dude i don't know what jealousy is, because all i know is my self worth."

"Damn."

"Lagian, kan, udah ada Mickey." Kalimat ini malah dengan kurang ajarnya membuat Max cemburu.

Audrey menangkup pipinya dengan telapak tangannya yang terbalut jaket seakan kedua pipi putihnya itu memerah atau apa. Tatapan mata gadis itu seakan penuh cinta yang Max anggap omong kosong (kecuali jika tatapan itu muncul ketika membayangkannya).

"Gosh, he's like an angel."

Nada suara itu adalah nada yang diklaim Max hanya untuk dirinya seorang.

Ternyata. Mickey. Berhasil. Merebutnya.

"Lo tau, gak, sih. Sebenernya gue tau kalo Mickey itu suka sama gue." Audrey tersenyum. "Dia selalu ada ketika gue butuh dia. Eh, yang paling gue inget, sih, dia rela-relain sakit punggung demi—"

"Tapi, lo suka sama dia?"

Max, tidak perlu cemas begitu, adalah kalimat manusia waras yang geli melihat cowok itu seakan kalang kabut mengikuti kalimat-kalimat Audrey yang berada di luar kendalinya.

Audrey mengedikkan bahunya. "Gue suka cara dia memperlakukan gue. Tapi, menurut gue, dia sama Stephanie cocok. Dua-duanya bikin gue lebih kuat. Dan mereka juga termasuk manusia terkuat yang gue kenal. Oh, ya, Stephanie juga kasih tau gue istilah ephemeral. Lo tau artinya?"

"Lasting for a very short time. And you know what ephemeral is?"

Audrey mengedipkan matanya, kaget ketika mendapati cowok itu menatapnya tajam tepat di kedua matanya.

"Your feeling for him is ephemeral."

Audrey mengedipkan matanya lagi. "Max?"

Max berdecak. "Shh berisik, daripada bikin gue kesel, mending lo tidur. Tadi pagi lo bangun subuh."

"Max, tapi—"

"Tidur, Drey."

"Max—"

"Gue juga mau kerja."

"Gue—"

Max mengambil selimut berwarna merah yang disediakan sebagai fasilitas di dalam bus, lalu menutup wajah gadis di hadapannya dengan kain itu.

"Max gue gak bermaksud bikin lo kesel." Ucapan Audrey itu berhasil membuat Max tersenyum miring. "Maaf."

Cowok itu mendengus geli, lalu mengusap kepala Audrey yang masih terbungkus oleh selimut tadi.

Kalo sama lo, gue gak bisa marah lama-lama, Drey.

"Sleep tight," dari cowok itu berhasil menghantarkan satu tidur nyenyak yang Audrey rindukan kehadirannya.

***

mungkin cerita ini ngebosenin but great things take time 💕

To God be the glory,
nvst.
4.12.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang