str

486 51 15
                                    


this is the last stock of my trust.

***

Senin, 2 Oktober.

"Ini ubah dulu ke SI, kan, Kak?"

Audrey menggeleng. "Jawaban PG nya mintanya dalam gram per sentimeter kubik."

Stephanie nyengir lebar. "Berarti udah selesai!"

"Coba kalo ubah ke SI."

"Yah...., gue gak bisa."

"Nah, gini caranya."

Max yang berbaring di sofa di ruang musik itu diam-diam memperhatikan keduanya yang belajar dan mengajar semakin giat menjelang bulan Oktober, bulan di mana hari belajar efektif berkurang karena banyaknya event yang diselenggarakan pihak sekolah.

Cowok itu memperhatikan Audrey sedemikian rupa demi menemukan segurat saja garis di wajah gadis itu yang menunjukkan bahwa cewek itu sedang sangat amat kerepotan dengan kemelorotan hidupnya. Tapi, sudah satu jam dia memperhatikan, satu jam pula dia tidak menemukan apa yang dicarinya.

Saat gadis itu menulis.

Saat gadis itu mengernyit bingung.

Saat gadis itu menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga.

Saat gadis itu tersenyum ketika memiliki momen melegakan saat menemukan titik terang.

Semuanya masuk ke dalam penglihatan Max, namun tidak ada satupun di antaranya menunjukkan kesedihan gadis itu.

Ponsel Max yang berdering nyaring membuat cowok itu mengangkat panggilan dari ibunya yang baru pulang kemarin malam itu.

"Kenapa, Ma?"

"Coba kamu tolong beliin—"

"Ma, not again..." Max mengusap wajahnya kasar.

"Ini adek kamu yang mau."

"Alah, alibi."

"Ck. Beliin mama makanan, list-nya ada di Whatsapp."

"List-nya?!" seru Max kesal. "Ma, jangan ngerjain orang— Ma, halo? Ah shit dimatiin."

Max bangkit dari sofanya dengan segala kekesalannya setelah mengecek daftar makanan yang ibunya inginkan.

Cowok itu melangkah keluar ruangan setelah berkata, "Ntar Fio mau ke sini, bilang gue pergi."

Stephanie mengangkat wajahnya dari kertas di hadapannya. "Ke mana?"

"Nyari makanan buat mama."

Ketika akhirnya deru mobil Max terdengar pergi, Stephanie dan Audrey selesai belajar di detik selanjutnya.

Dan belum sempat Audrey menghela napas lega, Stephanie sudah menyerobotnya dengan satu pertanyaan yang sangat mengusik pikirannya sejak lama.

"Lo udah move on, belom, sih?"

"Hng?" tanya Audrey sambil melakukan peregangan. "Emang kenapa?"

"Lo tau, lo berhak dapet lebih daripada kakak idiot gue."

Audrey tertawa kecil. "Gue juga berharap lo tahu bahwa satu tahun bukan waktu yang pendek."

"Jadi, belum?!" tanya Stephanie terkejut, gadis itu semakin tidak habis pikir kala melihat Audrey meringis. "Terus, yang kemaren lo bilang, if only my name was Minnie?!"

"Steph," Audrey menatap Stephanie dengan malas, "gue kan bilang cuma bercanda."

Gadis itu menggebrak meja di hadapannya, membuat Audrey berjengit kaget.

"Anjir, kalo gue jadi lo, mah, gue gak bakal nemu satu alasan pun buat bertahan sama cowok itu."

Audrey menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu mengedikkan pundaknya. "Udah lumayan bisa let go, sih. Tapi tenang aja. Bentar lagi juga gue move on."

"Berarti, setiap kali lo liat Kak Max sama pacarnya barengan, mesra-mesraan najis gitu, lo sakit hati, dong?!" tanya Stephanie baru sadar.

Audrey tersenyum kecil penuh arti.

"Ajarin gue nyembunyiin semua perasaan seprofesional lo, dong, Kak."

***

"Kak Fio, jangan pake mangkok itu," ujar Stephanie melihat Fio mengambil mangkuk bergambar Thomas and Friends, mangkuk masa kecil Max pemberian Louisa, neneknya, untuk dijadilan wadah susu dan serealnya, "kak Max suka marah kalo mangkok itu dipake."

Fio tidak peduli, gadis itu mengedikkan bahunya sembari berkata, "Max mana bisa marah sama gue."

Kalimat itu berhasil membuat Stephanie terlongong. Seumur hidupnya, dia tidak pernah memiliki urgensi untuk membunuh orang sedadarurat itu.

"Ish anjir najis banget, si," gumamnya, lalu memilih untuk pergi ke kamarnya daripada menjadi terdakwa kasus pembunuhan mendesak yang sudah mulai menghantui pikirannya.

"Apa kabar, Fi?" tanya Audrey sepeninggal Stephanie.

Fio duduk di kursi bar dapur sambil menyantap serealnya. "Baik. Lo nggak, kan?"

"Baik, kok."

Lalu, mata Fio menangkap bayangan ponsel Audrey yang tergeletak di meja, tepat di hadapannya.

Melihat itu, dia bertanya.

"HP lo yang lama mana, Drey?"

"Gue jual," ujar Audrey. "Gue ganti nomor juga."

Fio mengangguk paham. "Pantesan gue telepon gak bisa-bisa. Kenapa lo ganti?"

"Suka masuk SMS dari orang-orang pengen tau, di HP lama gue," ujar Audrey. "Dan gue terlalu males untuk blacklist."

Mendengar itu, Fiona berkata, "Kalo gitu, minta nomor lo, dong."

Mereka bertukar nomor ponsel beberapa detik sebelum Audrey bertanya. "Gimana sekolah lo?"

"Gimana sekolah lo?"

"Lo tau, gue putus sekolah."

"Gue gak tau kenapanya."

"Lo gak harus tau."

"Drey, gue sahabat lo."

Audrey menghela napas berat. Dia tahu Fio menunggunya bercerita karena gadis itu menatapnya sungguh-sungguh dan menyingkirkan mangkuk santapannya.

Fiona menggenggam kedua tangan sahabatnya, menatapnya dengan mata dan bibir yang tersenyum menenangkan.

"You don't have to hide all of the pain."

Audrey menghela napas lelah.

Gadis itu terdiam cukup lama sebelum mulai bercerita.

"I've been hiding it for a long time...."

***
To God be the glory,
nvst.
5.11.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang