plyn

513 58 12
                                    


sorry.

***

Dalam benaknya, tidak pernah terbersit sedetikpun dia akan mengisi waktu liburan akhir tahunnya dengan mengincar seorang gadis yang bahkan sudah menjadi mantannya.

Jumat, 22 Desember, pukul 10.00, Maximus Ryan sudah berdiri di depan rumah Audrey dengan jins dan kaos hitamnya yang bersembunyi di balik hoodie yang dulu sempat berpindah tangan kepada gadis itu.

Sejak semalam, dia sudah bertekad untuk mendapatkan kembali gadis itu, atau mati.

Karena, entah anugerah atau kesialan, gadis itu adalah dunianya, dan tanpanya, dia tiada berarti.

Max tersenyum ketika Audrey keluar dari dalam rumah dan menyambutnya di teras dengan senyuman di wajah kuyu gadis itu.

"Eh, hi, Max," sapa Audrey sambil mengulaskan senyum kecil, tidak menyangka yang mengetuk pintunya tadi adalah mantannya.

Melihat Audrey yang pucat, senyum cowok itu menghilang.

"Lo kenapa pucet gitu?"

Gadis itu meraba wajahnya, lalu menggeleng pelan. "Cuma kurang tidur aja, akhir-akhir ini begadang bikin katering."

"Lo lagi tidur, ya? Ya udah kalo gitu gue pulang aja."

"Nggak pa-pa, gue gak tidur. Takut kebablasan, bentar lagi mau jenguk mama," ujar Audrey. "Lo mau ngapain?"

Max mengangkat sekantung tas kertas yang sedari tadi ditentengnya, lalu menyerahkannya pada Audrey. "Gue bawain makanan buat lo."

Audrey menerimanya, lalu melongok ke dalam untuk melihat apa isinya. "Thanks. Padahal gue udah masak—Coklat?" Gadis itu mengernyit heran ketika mendapati isi bungkusan itu adalah aneka macam coklat batangan. "Buat gue?"

Max mengangguk.

"Makasih, tapi ini banyak banget."

"Soalnya gue liat, lo kurus banget. Akhir-akhir ini kalo meluk lo jadi gak enak."

"Haha, i take that as a compliment," gurau Audrey. "Ayo, masuk."

Dan tidak ada yang lebih membuatnya tenang selain berada di dalam satu ruangan yang sama dengan gadis itu, memastikan segalanya aman, dan meyakinkan dirinya bahwa semua yang berkaitan dengan gadis itu tidak akan membawa berita buruk.

Audrey yang berkata akan menjual dirinya beberapa waktu lalu sempat menghancurkan Max begitu dalam, dan memastikan gadis itu tidak melakukannya adalah kelegaan tanpa batas.

"Mau gue bikinin apa?" tanya Audrey sambil mengikat rambutnya menjadi sebuah cepolan asal.

Max bisa melihat gerakan cewek itu yang sangat terlihat lelah, jadi, dia berkata, "Nggak usah. Gue gak pengen apa-apa."

"Beneran?"

"Iya."

"Oke." Audrey lalu teringat sesuatu. "Oh, ya. Lo mau ikut, gak?"

"Jenguk mama?"

"Mmm, iya, sih, itu juga."

Max mengernyit. "Emang ke mana lagi?"

Audrey menguap sebelum menjawab, "Jadi gini, gue besok mau ke Malang, mau nengok papa. Kalo lo mau, gue mau ngajak lo."

"Mau," jawab Max, menahan kebahagiaan di hatinya yang mulai membuncah. "Kita berdua aja, kan?"

"Iya, kita berdua doang."

Buncahan itu semakin terasa. "Kenapa lo ngajak gue? Bukan berarti gue nolak ajakan lo, ya."

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang