ffndd

393 40 9
                                    


you sound like a heartbroken.

***

Audrey mengusap wajahnya kasar.

Senin, 8 Januari, semua siswa yang terpenjarakan oleh sistem pendidikan yang tidak sesuai, mau tidak mau harus kembali ke sekolah mereka.

Termasuk Max, cowok yang seharian kemarin mendiamkan Audrey karena satu alasan. Bahkan sampai pagi ini pun, pria tampan itu masih tidak memberinya sepatah kata pun.

Waktu menunjukkan pukul 06.00. Masih ada satu jam sebelum bel masuk SMA PERSADA berdering, dan Audrey masih terus mencoba untuk menghubungi Maximus Ryan.

Audrey baru mau menghubungi Max lagi ketika satu panggilan memasuki ponselnya.

Nomor itu tanpa nama, namun suara yang kemudian muncul membuat Audrey tahu siapa orang yang sedang berbicara kepadanya.

"HALO, DREY."

"Eh, Kak Putri," sapa Audrey, terdengar sedikit penasaran. "Ada apa, Kak?"

"KAMU UDAH TAU, BELUM, REVAN UDAH NGGAK DI SINI LAGI."

"Oh, iya. Dia dipenjar—"

"IYAAA!"

Audrey terkejut sesaat. "Terus kenapa, Kak?"

"KAMU NGGAK MAU KERJA DI SINI LAGI?!"

Kalimat itu sukses membuat Audrey terdiam. Cukup lama untuk membuat Putri berteriak.

"DREY!!"

"YA!"

"MAU, NGGAK?!"

"Oke ntar aku coba dateng ke sana. Siangan, ya, Kak."

"OKE, DAH!"

"Dah."

Ketika panggilan itu berakhir, Audrey ingin mencoba menghubungi Maximus Ryan lagi. Namun, hati kecilnya tahu, sebanyak apapun dia menghubungi cowok itu, tidak akan ada umpan balik yang akan didapatnya.

Jadi, gadis itu meninggalkan ponselnya, lalu melakukan segala hal yang sekiranya dapat membuat hidupnya hidup.

***

"Kamu mau kerja di situ lagi?" tanya Maria terdengar sedikit tidak rela.

Audrey mengangguk.

Sejak keadaan ibunya membaik pasca operasi, kondisi wanita itu berubah menjadi dulu kala lagi. Protektif, perfeksionis, dan fleksibel di saat yang bersamaan.

Mendengar percakapan itu, Martha yang selama hampir tiga bulan itu merawat adiknya, bertanya, "Kerja di mana, Drey?"

"Di kafe Tuls."

Senyuman Martha otomatis merekah mendengarnya. "Wah, gak usah pikir panjang. Kafe bagus itu! Paling bagus di kota ini yang pernah tante kunjungi!"

"Iya, tapi—"

"Ma," potong Audrey sebelum ibunya bisa mengutarakan kegundahan hatinya. "Dia udah nggak di sana. Biarin Odi kerja di sana, ya. Uangnya bisa dipake buat kita sehari-hari."

Maria menghela napasnya panjang. Wanita itu lalu mengangguk ragu sebelum berkata, "Cuma kamu anak mama, mama harap kamu ngerti."

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang