scldd

572 56 12
                                    


love smarts you.

***

"Maximus Ryan Atmadja."

Ayana yang duduk di sofa ruang tamu dini hari pukul 02.01 itu, setia menunggu anak sulungnya yang bahkan baru menginjakkan kaki di rumahnya sepagi itu. Wanita itu melipat tangannya di depan dada. Terlihat marah dan geram.

"Dari mana aja?" tanya Ayana. "Kenapa gak ada kabar? Kenapa susah dihubungi, hm?"

Max dan segala perasaannya yang kacau tadi mengembara, dan berakhir di rumah neneknya, Harjani, yang selalu mau menerimanya apapun keadannya. Baik saat dia salah ataupun benar, neneknya itu selalu berkata bahwa dialah yang terbaik.

"Ma," ujar Max, mendesah lelah. "Mama kan lagi hamil—"

"And you're acting like a bitch to a pregnant woman, you know that?"

Ayana paling tidak suka anaknya pulang dini hari. Belajar dari pengalaman, masa remaja Ary menjadi rusak sebab tidak adanya ketegasan dan pengawasan yang tepat dari Harjani.

Dan Ayana tidak akan membiarkan anak-anaknya juga dirinya mengulangi kesalahan yang sama.

"I'm sorry, Ma," ujar Max lelah, melangkah melewati ibunya menuju kamarnya.

"Maximus Ryan, your mom's speaking," perintah Ayana tegas, masih sambil melipat tangan di depan dadanya, "sit down."

Max dan segala rasa lelahnya akhirnya menuruti ibunya untuk duduk di sana, di sofa di hadapan ibunya.

Ayana menatap anaknya dalam diam. Tatapannya menyiratkan kemarahan, dan kekhawatiran yang menggelegar. Wanita itu memberi waktu bagi anaknya untuk menyadari segala kesalahannya.

Ditatap begitu, Max menjadi gugup dan tidak nyaman. Cowok yang sekarang menunduk itu berharap ibunya segera menyelesaikan urusan mereka malam itu.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Ayana setelah sekian lama terdiam.

"Ke rumah Oma," jawab Max langsung.

Ayana tidak melepaskan matanya sedetikpun dari mata anaknya. "Disuruh oma pulang sepagi ini?" sarkasnya.

Max membuang mukanya. "Jangan liatin aku kayak--"

"Apa yang kamu lakukan?"

Cowok itu tahu, percuma saja berkelit dari ibunya. Jadi, cowok itu berkata, "I punched Tyler."

Jawaban itu sukses membuat Ayana terkejut. Namun, wanita itu hanya diam. Diam dan terus menatap anaknya yang semakin salah tingkah. Rahangnya mengetat.

"Why?"

Max menjawab sejujur yang dia bisa. Ini adalah ibunya, dia tidak bisa menutupi satu helaan nafas pun.

"I was jealous."

Ayana tidak menunjukkan perubahan ekspresinya ketika berkata, "You know what? Love smarts you. That was not love. That was your stupidity."

Max terdiam.

Begitupun Ayana.

Wanita itu menatap anaknya yang terlihat sangat kelelahan walaupun sudah beristirahat di rumah ibu mertuanya.

Bukannya wanita itu tega membiarkan putranya kelelahan, hanya saja, Ayana tahu, anaknya harus diberi ketegasan yang nyata sesekali.

"Kamu akan apa dengan perbuatan bodoh kamu itu?"

Cowok itu menghela napas lelah lagi. "Minta maaf sama Tyler dan Tante Aleesa atau Om Chris."

Ayana menyetujuinya dalam diam.

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang