lvn

525 62 8
                                    


they're worth it if you get fucked up when they're not around.

***

"Sanksi berupa skors selama tiga hari terhitung mulai besok." Widya menatap Max dan Juan, partner bertengkar Max, bergantian. "Itu artinya, kalian harus belajar sendiri untuk ujian akhir."

Zachary santai-santai saja mendengarnya.

Baginya, memang kenapa jika anaknya harus belajar sendiri? Tanpa belajar pun nilai putranya bisa di atas langit semua.

Bukannya sombong, tapi, kenyataan terkadang terlalu indah untuk diutarakan dengan kata-kata.

Widya, sang kepala sekolah, mengulurkan sebuah surat peringatan yang wajib ditandatangani kedua orangtua atau wali murid.

"Jangan diulangi lagi, ya, Maximus, Juan," pesan Widya sebelum kedua anak didiknya beserta para wali meninggalkan ruangannya. "Segeralah berbaikan. Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi kalian," tambah wanita itu lagi.

Setelah pamit pada Kepala Sekolah, semua tamu meninggalkan ruangan.

Dan para orangtua pun langsung menyampaikan permohonan maaf mereka satu sama lain.

Tidak lama setelahnya, jam istirahat kedua berbunyi.

Max berusaha mencari keberadaan gadisnya sambil mengikuti langkah ayahnya menuju lapangan parkir mobil tempat ayahnya memarkirkan mobilnya tadi.

Untungnya, Ayana dan janinnya yang baik hati itu tidak ikut karena rasa mual yang sangat mengganggu wanita itu. Kalau sampai ibunya ikut, Max tidak tahu apakah calon adik bayinya nanti bisa selamat atau tidak, saking buruknya kenyataan yang harus dihadapi ibunya.

"Your mom's not gonna like this."

Max berdecak. "Dia ngejek mama, Pa," adu cowok itu, terdengar tidak suka ketika mengingat pemicu pertengkaran tadi.

Zachary bersandar di pintu mobilnya sambil menatap putranya yang terlihat gelisah. Pria itu tahu anaknya tidak sedang baik-baik saja dengan segala yang putranya itu perbuat.

Bahkan anaknya itu terlihat tidak rela pulang, walaupun sudah mengenakan ransel dan jaketnya.

Jadi, Zachary berkata, "Cari dia, gih."

Max menaikkan sebelah alisnya. "Siapa?"

"Dia yang bikin kamu kayak gini."

Max tersenyum kecil.

"Treat her right, Max. She deserves it."

Dan Max menangkapnya dengan baik.

Selepas kepergian ayahnya, cowok itu segera berlari ke kelas di mana gadisnya berada, tanpa menghiraukan bibir-bibir yang mempergunjingkannya karena bertengkar layaknya seorang bocah.

Padahal, yang mereka tahu bahkan tidak sampai 1/100 dari apa yang Max benar-benar alami. Tapi, yang heboh malah manusia-manusia sok tahu itu.

Dunia memang menggila.

"Audrey mana?" tanya Max kala tidak menemukan gadisnya di sudut manapun di kelas 11 IPS 1.

"Audrey tadi izin pulang, sakit katanya."

Penjelasan dari satu murid itu sukses membuat Max berlari menuju lapangan parkir, menyalakan motor hitam polosnya, lalu mengendarainya ke tempat di mana gadisnya seharusnya berada.

***

"Jadi, ya, gitu, Drey. Gue disuruh gak masuk aja."

Audrey mengangguk paham. "Untung lo udah sembuh, ya. Repot nyusul banyak ketinggalan, Fi."

Fio mengangguk. "Bener. Males nyusul, gue, makanya gue bilang sama mama, izinnya dua hari aja. Padahal awalnya mau sampe hari ini."

Belum sempat Audrey merespon, Fio sudah berkata lagi.

"By the way, gue beli apartemen baru. Sekali-sekali main ke sana, Drey. Gue yakin, lo pasti suka."

"Buat apa lo beli?"

Fio menghela napas lelah. "Gue bosen di rumah. Lo tau kan, di rumah, gue cuma sendiri aja. Mendingan di apartemen. Kalo bosen, tinggal keluar."

"Jadi, sekarang lo tinggal di mana?"

"Di sana."

"Apartemen itu?"

Fio mengangguk.

"Entar deh kapan-kapan gue main," ujar Audrey, masih sambil menapaki jalan menuju rumahnya dengan gontai.

"Kenapa gak malem ini aja?" ajak Fio bersemangat, "lo istirahat di sana! Jadi, kalo lo gak masuk, nyusulnya lebih gampang!"

"Nggak ah," tolak Audrey langsung.

Bahu Fio melorot, wajahnya seketika kecewa. "Yah, kenapa?"

"Belajar sama lo mah useless. Otak lo encer, juga kagak, kan," ujar Audrey, Fio meninjunya pelan. "Kayaknya gak minggu-minggu ini deh. Mau ujian, lo tau sendiri mama gue gimana."

"Nanti gue yang ngomong sama tante Maria!" Fio nyengir. "Kan biasanya dibolehin tuh."

"Gue yakin, kali ini nggak."

"Ish, pokoknya harus!"

"Fi." Audrey menatap sahabatnya dengan malas. "Bukannya gue gak mau, tapi-" ketika gadis itu mengembalikan tatapannya ke jalanan, sesosok figur agak jauh di depannya masuk ke dalam penglihatannya. "Max?"

"Hah? Tapi Max?" Fio mengikuti arah pandang sahabatnya. "Lah, Max? Ngapain?"

Audrey mempercepat langkahnya, menghampiri pacarnya yang babak belur untuk alasan yang tidak dia ketahui.

"Max, lo kenapa bisa...." Audrey bahkan tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. "Duh..."

Max berjalan lebih cepat dari Audrey.

Sesampainya tepat selangkah di hadapan Audrey, cowok itu menatap gadisnya yang mendongak memperhatikan setiap lebam di wajahnya.

"Lo kenapa?" Audrey mengeluarkan tangannya dari balik hoodie yang membungkus tubuhnya, berusaha meraba luka di wajah pacarnya.

Gadis itu menghela napas lelah. "Max, kenapa harus pake kekerasan, sih?"

Dan cowok itu tetap diam saja sambil menatap setiap pergerakan mata indah gadis di hadpaannya.

"Gue gak suka liat lo-"

Secepat kilat, cowok itu meraih tengkuk gadisnya, lalu mencium bibir gadis itu lama.

Audrey kehilangan napasnya.

Bahkan, telapak tangan gadis itu berakhir di dada cowok sialan di hadapannya. Gadis itu benar-benar tidak kuasa mencerna apa yang sedang terjadi kepadanya.

Semua dalam dirinya seakan berfungsi menyalahi aturan. Membuatnya tidak bisa melakukan segalanya dengan normal dan wajar di setiap detik yang berhasil dicuri waktu.

Setelah sekian detik berlalu, Max menarik dirinya, menatap mata gadisnya dengan sangat, sangat tulus seraya berkata.

"Damn, you're my world."

***

To God be the glory,
nvst.

18.10.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang