dnt

415 36 28
                                    


my opinion almost mattered.

***

Satu minggu kemudian, Rabu, 17 Januari.

Sore hari itu, kediaman Atmadja terlihat lowong seperti biasa.

Di dalamnya hanya terisi Stephanie, Mickey, dan seorang Bibi yang dipekerjakan Zachary sebagai ART untuk menjadi pengganti Audrey untuk beberapa hari. Terhitung mulai Senin lalu, wanita paruh baya bernama Ana itu bekerja di sana dan diberi honor perhari, sebab wanita itu hanya datang jika diminta saja, tanpa perencanaan, tanpa apa.

Suasana di dalam sana akan menjadi sangat hening apabila televisi di ruang tamu tempat mereka berkumpul tidak dinyalakan. Mickey berniat mengajak sahabatnya berbicara, namun sahabatnya itu terlihat begitu murung untuk sekadar mengeluarkan suaranya.

Hal itu terjadi karena, ketika lusa Stephanie akan bertanding catur tingkat nasional, ibu dan ayahnya malah pergi ke luar negeri untuk-lagi-lagi-mengurusi pernak-pernik pekerjaan mereka.

Melihat diamnya sahabatnya itu, Mickey menghela napas berat, lalu bertanya.

"Lo kenapa?"

Stephanie menggeleng.

"Pertandingan catur itu, ya?"

Gadis itu mengangguk.

"Tapi mama lo udah janji bakal dateng, kan?"

Dia mengangguk lagi.

"Ya udah. Tenang aja. Kali aja besok pulang."

"Amin."

Mickey mengulaskan senyum kecil, lalu mengelus puncak kepala sahabatnya ringan.

Elusan itu membuat Stephanie mengembuskan nafas pelan, beriringan dengan senyumnya yang perlahan timbul.

Dari dasar hati yang sedang mengkhawatirkan segalanya, gadis itu berusaha mengulaskan senyum yang dia harap bisa merilis sedikit kekhawatirannya.

"SMA mana, Mick?" tanyanya, mengubah total topik pembicaraan.

Menjawab pertanyaan itu, senyum bangga Mickey mengembang. "Di Aussie, gue. Lo PERSADA, ya?"

Stephanie mengangguk. "Lo tau lah, oma gue berpengaruh di sana. Jadi gue harus masuk sana."

"Lo-nya sendiri suka?"

"Dari cerita Max yang gue denger, suka."

"Kita jangan lost contact ya, Steph," pesan Mickey dari dasar hatinya. "Lo temen cewek terbaik yang gue punya."

Stephanie tersenyum manis, mengangguk.

Tepat ketika Mickey mau menanyakan keberadaan Audrey, Max dengan wajah datarnya memasuki rumah dalam balutan jaket hitam yang membungkus seragam berantakannya, disusul Audrey yang terlihat panik dengan langkah panjang-panjangnya.

Dilihat dari sisi manapun, keduanya sedang terlihat tidak sebaik biasanya.

"Max, kan gue udah bilang, Revan udah nggak di sana!"

Max mengepalkan tangannya setiap nama manusia bejat itu menyentuh gendang telinganya.

Cowok itu berbalik demi melihat wajah Audrey yang lelah. Keringat yang membasahi kemejanya mendukung argumentasi itu.

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang