clbrtn

440 43 6
                                    


that Someone cares.

***

Our Home, ruang satu itu benar-benar menampung anak-anak yang kehilangan kasih sayang dari pihak terpenting dalam hidup mereka—satu hal yang manusia dalam abad dan tempat mana pun terpukul ketika mengalaminya.

Ruang yang dibentuk oleh Almarhum Caleb Abraham Peterson dalam masa remajanya itu konsisten dan terus bergerak dalam kemajuan dan kerendahan hati.

Mencari, menyambut, dan merangkul anak-anak untuk kiranya memperoleh cinta kasih yang patut mereka dapatkan.

Kasih adalah landasan segala yang mereka lakukan.

Siang hari itu, 40 anak di dalam sebuah rumah besar sedang merayakan natal yang memang dirayakan terlambat, karena sulit mengumpulkan anggota Our Home dari generasi pertama ke generasi terakhir.

Sesampainya Audrey dan Max, mereka langsung tersenyum lebar lantaran suasana di dalam rumah besar itu begitu gaduh dan penuh antusiasme penghuninya.

"We wish you a merry christmas!! Jesus loves you!"

Teriakan cempreng itu dibalas Audrey dan Max dengan rentangan tangan dan jeritan senang.

"YAAAAY, FAMILY HUG!!" seru Audrey sambil menyandarkan kepalanya di atas kepala satu bocah laki-laki yang terlihat polos dan tidak tahu-menahu akan segala hal yang terjadi di dunia ini.

Bocah itu kentara sekali hanya mengikuti orang-orang di dekatnya yang lebih paham akan semuanya.

"Where is Fio?" tanya seorang bocah lain sambil menatap Max dengan binar mata antusiasnya.

Agaknya bocah perempuan itu merindukan Fiona.

"Fiona is—"

"Dead?!"

"No!" Max tertawa kecil. "We broke up."

"WHAT?!"

"HOW COME?!"

"WHY?!"

"THAT'S COOL!"

"I'VE BEEN WAITING FOR THAT MOMENT!!"

Kalimat terakhir tadi menimbulkan pertanyaan di benak temannya. "Damn, why?"

"I don't know, she doesn't deserve him."

"Damn it, you're daughter of a b—"

"Beautiful mommy?" Gadis berkebangsaan Afrika Selatan itu mengedikkan bahunya enteng. "I know, right."

Percakapan di antara dua gadis remaja membuat Audrey tertawa kecil.

Mengetahui percakapan itu akan berlanjut sebagai adu pendapat, gadis itu memilih untuk berkeliling.

Dia menjelajah rumah besar tersebut seorang diri, karena Max sibuk dengan sebuah urusan di dalam ponselnya.

Sesekali, gadis itu berhenti untuk menyalami para bocah. Tidak jarang, dia juga menyalami para orang tua yang dulunya merupakan bocah penghuni Our Home juga.

Salah satu dari mereka merupakan Milo dan Nadine, pasangan yang sedang menunggu anak pertama mereka.

"HAVANA O NA NA...."

Suara nyanyian itu membuat Audrey berhenti melangkah. Dia menengok ke dalam sebuah ruangan yang berisi 5 gadis yang sedang beraksi di depan sebuah kamera yang menyala dan merekam semua aksi mereka.

Kelima gadis itu mengenakan topi Santa sambil bernyanyi dan menggerak-gerakkan ponsel itu seakan di dalamnya sedanf terjadi gempa bumi atau apa.

Melangkah menjauh, gadis itu memilih untuk tidak mengganggu aktivitas para gadis itu. Sebagai gantinya, Audrey melangkah ke ruangan di mana semua alat musik diletakkan dan suara di dalamnya teredam.

Awalnya, dia mengira, ruangan itu kosong. Pasalnya, di kali ke satu sampai ke lima dia berkunjung ke sana, ruangan itu selalu kosong.

Tapi, di kali keenam ini, ternyata ruangan itu terisi oleh seorang bocah yang duduk di depan piano sambil menarikan jemarinya di atas setiap tuts sambil menunduk dalam.

Sebagai pianis sejak kecil, lagu berjudul River Flows in You sudah familier di telinga Audrey. Tapi, satu hal yang membuat hati gadis itu teriris adalah, lagu itu terdengar begitu menyejukkan dan menyiksa di saat yang bersamaan.

Audrey sampai hampir menitikkan air mata.

"Hey." Gadis itu berjalan menghampiri seorang bocah lelaki yang sudah berhenti, namun tetap menunduk. Gadis itu lalu duduk di sebelah kananya. "What happened?"

Ketika bocah itu mengangkat kepalanya, matanya sudah penuh dengan air mata yang siap turun dalam—

"I need my parents."

—satu kedipan.

Entah di mana orang tua bocah itu berada, Audrey hanya ingin anak laki-laki itu tahu bahwa, "I care."

"Cliché."

"What? No!" Audrey memegang pundak bocah itu sambil tersenyum hangat. "What's your name?"

"Max." Max pun membalas tatapannya. "Max needs parents to celebrate christmas."

Mengenyampingkan opini bahwa hidup terlalu keras mempermainkan seorang bocah kecil, Audrey terdiam.

Gadis itu meneliti raut wajah bocah itu. Max terlihat begitu sedih dan menyesal di saat bersamaan.

Audrey pun tersenyum kecil dan berkata.

"Max, this is Our Home. This is our home. Every adults are your parents and every kids are your siblings. You don't need blood bond to have a family, you need a heart to have a family."

"..."

"If you need blood bond, then how could The God be your Father?" Audrey mengusap puncak kepala Max dengan penuh sayang. "You only need heart, Sweetheart."

Max tersenyum kecil. "But i need real parents."

"Who doesn't?" Audrey mengangguk paham. "I know. But nothing happens without God's permission. This happens, and, do you think this is not the best for you?"

Max tertawa kecil ketika Audrey menatap matanya dengan serius dan lembut.

Lalu bocah itu menggeleng. "No. Maybe this is the best."

"Yes, and you have to enjoy what's here while it lasts."

"Okay, Sista!"

"So, Baby, put a smile on your face because God loves you so much." Audrey memeluk Max singkat sebelum bocah itu kabur ke luar ruangan.

"Where are you going?!"

"MEETING ALL MY FAMILY WHILE IT LASTS!!"

Audrey tersenyum.

Terdiam sesaat, gadis itu lalu memainkan sebuah lagu yang sejak tadi terputar di kepalanya.

Sembari bersenandung, Audrey Agatha membatin:

Thank God for everything that's here. Happy birthday.

***

MA SAVIOR WAS HAVING HIS BIRTHDAY YESTERDAY SO HELL YEAAAAAHHHHHH

To God be the glory,
nvst.
27.12.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang