dsppntmnt

359 35 8
                                    


no matter how good your past is, living in it is not a good idea.

***

Setelah menghilang entah ke mana selama berjam-jam, Stephanie akhirnya menginjakkan kaki di rumahnya pukul 16.00. Gadis itu masih terlihat sedingin tadi, namun dengan raut kekecawaan yang lebih nyata.

Tidak lama setelah gadis itu memasuki gerbang rumahnya, Ayana bersama suaminya yang menggendong putri bungsunya menyusul memasuki gerbang dengan terburu-buru, disusul Max yang baru sampai tidak lama setelah kedua orang tuanya datang.

Meninggalkan Audrey dan Mickey di dalam mobil, Max mengejar langkah adiknya yang berjalan semakin dekat dengan kamarnya.

"Mama minta maaf, Nak..."

Ketika Ayana menyentuh pundak kiri putrinya yang tengah beranjak dewasa, gadis itu langsung mengedikkan bahu yang sama, dan berujar dingin sarat kekecewaan yang sangat, sangat berat.

"Go away, i'm trying not to hate you."

Saat itu juga, hati seorang ibu itu mencelos, dan air matanya terkuras hanya dalam sepersekian detik. Tubuhnya terpaku selama beberapa saat sehingga dia tidak bisa menahan tubuh putrinya yang menghilang di balik pintu kamar berwarna putih itu.

Setelah terdiam lama dengan air mata yang membanjir, wanita itu akhirnya berbalik, berjalan cepat menuruni tangga, dan masuk ke dalam kamarnya untuk menenangkan diri di sana.

Zachary menatap semuanya itu dari bawah sana, dalam keterdiaman yang berbanding terbalik dengan pikiran dan hatinya yang sedang dilanda badai. Pria itu diam membisu menyaksikan kekacauan hubungan anak dengan ibu dalam rumah tangganya itu dengan sebuah alasan kuat yang mendasarinya.

Pria itu lalu duduk di sofa, di tempat di mana putri bungsunya dia baringkan beberapa waktu lalu.

"Everyone is tired."

Max datang dan duduk di hadapan ayahnya. Keterdiaman Zachary dianggap Max sebagai persetujuan atas kalimatnya barusan.

"Waktu yang digunakan Stephanie untuk menyendiri udah cukup lama," ujar pria itu pada putranya, "masuk ke kamarnya, jadilah kakak."

Max menghela nafas panjang, lalu mengangguk.

Cowok itu melangkah ke lantai atas dengan yakin, meninggalkan sang ayah yang lalu sibuk dengan ponselnya, dengan raut wajah terdingin yang pernah dilihatnya seumur hidupnya. Mengetuk pintu kamar adiknya beberapa kali, Max berkata.

"Steph, jangan paksa gue jadi sopan."

Tidak adanya jawaban membuat Max kembali mengetuk pintu dengan malas, pasalnya dia adalah makhluk kedua setelah Bayi Sasa yang paling jarang mengetuk pintu kamar orang lain di dalam rumah itu.

Cowok itu mengetuk beberapa kali lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu itu dan melongokkan kepalanya ke dalam sana.

Adiknya yang malang itu sedang duduk di lantai balkon, menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya, dan bergetar dalam isak tangis di sana.

Melihat itu, Maximus Ryan menghela nafas panjang dan melangkah mendekati adik pertamanya.

"Dek," panggil cowok itu setelah duduk di hadapan adiknya. "Kenapa lo nangis?"

"..."

Tangisan itu satu-satunya yang mengisi ruangan, tangisan yang terlalu banyak dikecewakan.

"Gue tau lo kecewa. Tapi ada banyak hal yang bisa bikin lo nangis hari ini, lo yang kalah, lo yang kecewa sama diri lo sendiri karena lo kalah, lo yang kecewa sama mama—"

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang