sn

495 52 27
                                    


you don't know the sleepless night i spend crying.

***

Audrey mengumpat dalam hatinya ketika mendapati kantung matanya begitu menyebalkan untuk berada di sana.

Semalam dia tidak tidur karena satu dan lain hal yang membebani hatinya—seakan bebannya belum cukup banyak. Dan pagi hari ini, ketika ibunya sibuk dengan para murid kursusnya, gadis itu memilih untuk mencari pekerjaan baru yang lebih manusiawi.

Okay, Drey, no more crying, pesan Audrey pada dirinya sendiri.

Semalam adalah malam di mana tangisannya mengalir tanpa henti. Dia menangis sepuasnya, berteriak di balik bantalnya, memaki, meraung, dan mengadu. Sampai akhirnya, dia terlelap pukul 03.50, sepuluh menit sebelum dia harus bangun untuk memasak katering yang dipesan langganannya.

Dan pagi ini, pukul 08.00, ketika ibunya sibuk dengan para murid kursusnya, gadis itu memilih untuk mencari pekerjaan baru yang lebih manusiawi, pekerjaan yang mempertimbangkan haknya sebagai seorang manusia.

Di dalam kamar yang sudah dia rapikan bersama ruangan lainnya tadi, Audrey berkutat dengan majalah dan koran yang dibelinya di tukang koran yang setiap hari lewat di depan rumah kontrakannya.

"Ijazah SMA.... ijazah SMA.... ijazah SMA..." gadis itu membaca persyaratan pertama yang ditulis oleh setiap pembuka lapangan pekerjaan. "D3... S1... ijazah SMA. Ck, orang mau kerja doang, ribet amat."

Gadis itu melipat satu lembar koran sialan yang menyebalkan, lalu membuka selembar lagi.

Sampai pada lembaran ke-5, dan hasilnya sama saja.

"Ijazah SMA lagi..." Audrey menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Dia hampir menyerah ketika menemukan sisa satu koran lagi yang belum dibukanya.

"Koran terakhir. Dalam nama Yesus," doanya sebelum membuka lembaran koran terakhir yang memuat lapangan pekerjaan.

"Ijazah SMA... S2.... D3... Gak banyak..." Audrey mengernyit dalam, matanya mengerjap, mencoba memastikan apakah yang dibacanya adalah benar. "Gak banyak bacot?" Gadis itu mendengus kagum ketika mengetahui bahwa yang dibacanya adalah benar. "Wow."

Dengan segala ketertarikannya pada iklan unik tersebut, gadis itu kembali membaca persyaratan pada iklan guru les privat itu.

"Gak banyak bacot, gak sombong, gak nyalahin muridnya ketika gagal, gak sibuk pacaran, gak suka ngatain. Datang secepatnya karena muridnya ngeselin. Gaji sesuai permintaan."

Audrey mengernyit. "Ini beneran?"

Demi memastikannya, gadis itu menelepon nomor telepon yang tertera di sana. Audrey begitu antusias sampai dia tidak sadar bahwa nomor telepon itu adalah milik—

"Halo, Drey?"

Gadis itu mengernyit kaget. "Max?"

***

"Jadi, lo ke sini buat ngelamar jadi guru les privat Stephanie?"

"Iya," jawab Audrey kepada Max yang duduk di hadapannya.

Max mengangguk. "Gue sih cuma masang iklannya doang. Keterima atau nggaknya, lo bisa tanya dia sendiri."

Audrey mengangguk paham.

"Bukannya lo udah kerja di kafe?" tanya Max penasaran.

"Lo liat gue?"

"Iya."

Audrey mengumpat dalam hatinya ketika pikirannya terseret ke kejadian kemarin siang di mana semuanya terjadi dan menghancurkan harga dirinya sedemikian hingga.

Tapi, yang dilakukan gadis itu adalah tersenyum.

"Iya, awalnya. Cuma, gue keluar."

"Kenapa?"

Audrey menggaruk tengkuknya, berusaha merancang kebohongan kilat. "Gue keluar karena—"

"Kenapa lo kerja?" potong Max langsung.

"Oh." Gadis itu menatap mata cowok di hadapannya. "G-gue..."

Max mendengus. "Nggak usah dijawab."

"Kenapa?"

"Lo nggak sepercaya itu sama gue."

Audrey tersenyum. "Bener juga."

Max bangkit dari sofa yang didudukinya, lalu, dengan pakaian yang sama yang dikenakannya sesampainya di rumah sepulang sekolah tadi, cowok itu berkata.

"Gue duluan, ya. Lo di sini aja, bentar lagi Stephanie pulang," ujar cowok itu sambil berjalan mencari kunci motor yang tadi digantungnya, "gue mau ketemu Fio dulu."

"Salam buat Fio," ujar Audrey, lempar senyum sembunyi luka.

"Dia sering LINE lo, tapi gak pernah dibales."

"Gue off di setiap media sosial."

"Oh. Itu kenapa lo gak pernah read semua Line gue?"

Audrey menatap Max yang balik menatapnya. "Iya."

"Pantes."

"Gue gak bales Line lo tapi harusnya lo bisa nempuh cara lain, kan, Max?"

Max menatap gadis itu intens ketika menjawab, "Mungkin emang gue nggak sepeduli itu sama lo."

***
To God be the glory,
nvst.
30.10.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang