cthrss

598 52 34
                                    


they are both fucking good at hiding fucking everything.

***

Malam itu pukul 01.00 ketika Audrey memutuskan untuk mencuci semua piring kotor yang ada di wastafel setelah digunakan oleh para tamu.

Gadis itu bangkit dari duduknya yang dipenuhi oleh lamunan dan keterdiaman tanpa senyum sedikitpun, dia tidak berusaha untuk menutupi segala emosinya lagi.

Kali ini, dia lelah.

Bukan karena dia belum tidur atau membaringkan tubuh lemahnya, tapi dia tahu, senyum yang berada di wajahnya sangatlah tidak berguna ketika masalah berangsur-angsur datang ke dalam hidupnya.

Dengan tangannya yang gemetar dan air mata yang ditahannya, Audrey meraih satu demi satu piring di sana, lalu menyalakan menyabuninya perlahan.

Mati-matian, tangisan dan bahu yang bergetar ditahannya.

Kill your self, bisik batinnya kala gadis itu mendapati pisau di hadapannya.

Audrey menahan dorongan itu, dan menolaknya dengan doa.

Diiringi keheningan dan kesunyian malam, gadis itu menyalakan keran untuk membilas mangkuk masa kecil Max.

Perlahan, tangannya meraih mangkuk bersabun itu, demi membuatnya jatuh dan pecah berkeping-keping karena kecerobohan tangannya.

Gadis itu menangis, terduduk di bawah sana, di antara kepingan beling kaca yang menusuk kulitnya.

Tapi, dia sudah tidak peduli akan apa yang dirasakannya sekarang.

Harapan sudah sirna, dan doa seakan menguap tanpa pengabulan.

Dibiarkannya darah mengaliri tangannya.

Menyakitkan?

Tidak.

Hatinya yang menangis dan terluka hebat, lebih menyakitkan dari rasa sakit apapun yang pernah dirasakannya.

"I can't take it anymore..."

Audrey menenggelamkan wajahnya di antara dengkulnya yang ditekuk ke atas seraya diberikannya pelukan erat.

Isakannya menjadi semakin jelas dan menyakitkan.

Darahnya sudah bercucuran ke lantai tanpa diberikan sepersenpun kepedulian.

Bahunya bergetar, dan air matanya tidak kunjung berhenti.

Seketika saja, sebuah lengan kokoh memeluknya erat.

Sebuah pelukan yang mantap dan meredam segala jenis keputusasaan.

Dekapan yang memberi harapan akan harapan.

Dan kecupan yang menyampaikan doa pada pengabulan.

"Drey," panggil Max.

"Maaf, Max. I'm a failure," bisik Audrey, semakin terisak, semakin mengeratkan pelukannya pada kedua dengkulnya.

"Hey," suara cowok itu tersenyum, "you are the best thing ever happened to me."

Audrey menggeleng. "Tinggalin gue, Max."

Darah gadis itu yang semakin mengucur membuat Max berkata, "Drey, darah lo."

"Tinggalin gue...." lirih Audrey sambil menangis di antara air dan darah yang meninggalkan tubuhnya.

"Nggak akan," ujar Max, perlahan menarik tangan gadis itu yang lemah seakan tanpa tulang.

Perlahan, cowok itu mengambil satu demi satu beling yang tertancap di tangan gadis itu.

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang