mtl

504 54 18
                                    

i thought we were meant to be, but here we are.

***

"Mek!"

Max mengumpat dalam hatinya, lalu berbalik kala mendengar Pak Yoyok memanggilnya dari ujung koridor.

Cowok itu melangkah mendekari gurubya demi kesopanan. "Kenapa, Pak?"

Pak Yoyok menepuk pundak anak muridnya sambil menyerahkan beberapa lembar kertas. "Sebenarnya, seharusnya bapak yang anter ini ke rumahnya... siapa tuh? Odri. Nah, tapi bapak ada urusan buat daftarin siswa OSN sebentar lagi. Kamu pra UN kan sekarang? Udah jam 11, udah pulang, kan?"

Max mengangguk.

"Nah, kasep atuh da Mek mah."

Pria yang masih gagah walau telah berumur setengah abad lebih itu tersenyum memamerkan gigi-giginya.

Mendengar itu, Max memutar bola matanya dalam hati. "Langsung aja, Pak."

"Eh peka, gening?" Pak Yoyok tertawa. "Kamu tolong anter ini, ya. Ke rumah Odri. Itu amplop jangan dibuka."

"Iya, Pak."

"Sok, sana. Makasih, ya, Mek!"

Max dengan berberat hati mengurungkan niatnya untuk bermain bowling bersama ke-10 teman futsalnya. Cowok itu mengubah haluan ke parkiran motor di mana motor hitam polosnya terparkir rapi.

Tepat sebelum cowok itu menaiki motornya, Fiona dengan senyuman manis khas Fiona mendatangi Maximus Ryan.

Max tersenyum. "Bahagia banget?"

Fio mengangguk lucu. "Ini mau jalan-jalan sama temen-temen."

"Ke mana? Pulangnya aku jemput."

"Ke mall yang kemaren aku kasih tau," ujar gadis itu, "nggak usah dijemput. Aku bisa—"

"I wasn't asking, Fi."

"Ck. Fine," ujar Fio akhirnya. "Kamu jadi main bowling-nya?"

Max menggeleng. "Mungkin nggak. Ini mau ke rumah Audrey disuruh nganter ini sama Pak Yoyok," ujarnya sambil melambaikan amplop putih itu.

Fiona mengangguk paham. "Okay, salam ya buat Audrey."

Max mengangguk, lalu mencium pipi gadisnya sekilas. "Take care, Babe."

"You too."

***

Hari Selasa, 6 September.

Hari di mana kondisi fisik Audrey menurun drastis karena malam Senin kemarin. Cewek itu tidak menyadari bahwa langit mendung, sehingga, baru beberapa langkah dia berjalan, hujan sudah turun membasahinya dengan kurang ajarnya.

Satu-satunya hal yang dapat dia syukuri di samping semua organ tubuhnya yang masih berfungsi adalah ibunya yang menyambutnya di rumah dengan teh panas dan biskuit kesukaannya serta air panas untuk mandi malamnya.

Tapi, hidup memang sering mematahkan harapan.

Audrey kira, dia akan terbangun dengan tubuh baru yang membakar semangatnya. Ternyata, dia malah terkapar lemah dan harus dirawat oleh ibunya yang bangun sejak jam 3 pagi untuk memasak katering dan mempersiapkan segalanya untuk keperluan pesananan jahitan dan kursus menjahit.

Pukul 12.00, panasnya masih tinggi, namun tidak sepanas subuh tadi, ketika dia rasa, dia akan mati saat itu juga.

"Drey, mama tinggal dulu, ya. Mau anter pesenan," ujar Maria dari ambang pintu kamar putrinya.

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang