pln

293 28 5
                                    

one year ago, i was broken. now, i'm broken but i'm okay with it.

***

"Fi, lo tau orang tua gue udah cerai," ujar Audrey dalam selubung kekecewaan yang belum juga mengelupas. "Tolong jangan dibawa berat, ya."

Fiona mengangguk. Diam-diam gadis itu menatap sahabatnya penuh keprihatinan. "Semoga ntar beneran rujuk, ya, Drey."

"Gue mempersiapkan hati gue untuk nerima kenyataan, mama papa nggak bakal rujuk." Gadis itu mendengus.

Alasan sebenarnya adalah, sebulan lalu, di Minggu malam kedua di bulan Maret itu, diiringi tangisan penuh sesal, Maria dengan yakinnya berkata, wanita itu dan (mantan) suaminya akan rujuk selepas pria itu bebas dari hukuman penjaranya. Kalimat itu terdengar seyakin satu tahun lalu ketika wanita itu berkata, putrinya akan dikirim ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan tinggi di sana, dengan tempat tinggal yang nyaman, dan semua kebutuhan yang terpenuhi dengan baik.

Namun lihat apa yang terjadi satu tahun setelah keyakinan itu terlontarkan: keluarga mereka hancur berantakan.

"Kenapa?" Fiona menarik gadis itu kembali ke kenyataan ketika pikirannya berkelana ke masa lalu. "Kenapa lo nggak percaya?"

"Lo belum kecewa seberat itu kalo lo masih bisa nanya gitu."

Fiona menatap sahabatnya yang lalu bangkit berdiri untuk beranjak pergi.

"God, i'm sixteen," tutur Audrey lirih, lalu melangkah ke luar kamarnya untuk pergi ke kediaman Maximus Ryan dan bekerja di sana.

***

Sementara itu, selagi Audrey masih dalam perjalanan ke sana, kediaman Atmadja yang hari itu berisi lengkap sedang menikmati waktu mereka di hari Minggu siang itu.

"Si Dedek diem-diem bae," goda Stephanie sambil menusuk-nusuk pipi adiknya dengan jari telunjuknya. "Ngopi apa ngopi."

"Ck, nanti bangun adeknya," tegur Ayana yang menggendong putri bungsunya yang sedang terlelap.

Benar saja, tidak lama kemudian, Bayi Sasa yang awalnya tertidur nyaman, terbangun dengan tangisan rewelnya.

"YES BANGUN!!" sorak Stephanie, membuat ibunya, yang sudah susah payah menidurkan adiknya, merasa semakin kesal. "Sini aku bobokin lagi," tawar gadis itu sambil merentangkan tangannya, menunggu ibunya menyerahkan adiknya,

Namun, yang didapat adalah tepukan di sana, cukup keras untuk membuat Stephanie meringis sakit.

"Kamu, nih, gimana, sih!" seru ibu tiga anak itu sembari bangun dari duduknya. "Udah tau adeknya dari malem nggak bisa tidur, sekarang malah dibangunin! Rewel, kan?!"

"Iya, iya, maap." Gadis itu nyengir, lalu merentangkan tangannya lagi kala melakukan percobaan terakhir, "makanya, sini, aku yang bobok--"

"Nggak!!"

Menghela nafas panjang, dia menatap kepergian ibu dan adiknya dengan wajah memberengut dan mata berkilau sedih. Dengan sangat terpaksa, gadis itu menyandarkan kembali punggungnya di sandaran sofa dan bergabung dengan kebisuan dua pria dalam keluarganya.

"Kalian belum beli tiket, kan?" tanya Zachary menatap putra dan putrinya bergantian. Yang pria itu maksud dengan tiket adalah tiket pesawat yang akan memberi akses bagi mereka untuk terbang ke German untuk merayakan ulang tahun Louisa, ibunda Ayana, dua minggu yang akan datang, 22 April nanti.

"Belum," jawab Stephanie, "katanya Kak Max yang mau mesen."

"Bagus kalo belum," ujar Zachary sambil menyerahkan ponselnya pada putrinya yang duduk di sebelah kanannya. "Ini ada temen papa yang nawarin flight gratis ke sana."

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang